Oleh: Galang Asmara
Tahun 2018 merupakan tahun yang sangat bersejarah bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia, karena pada tahun ini akan diselenggarakan Pilkada serentak di sejumlah daerah di tanah air. Pelaksanaan Pilkada tahun ini merupakan pelaksanaan Pilkada serentak gelombang kedua setelah dilaksanakan untuk pertama kalinya tahun 2017. Masa Pendaftar bagi pasangan calon kepala daerah 8 – 10 Januari 2018. Sejumlah pasangan calon sudah bermunculan baik yang melalui jalur partai mapun jalur perorangan. Pelaksanaan pemungutan suara itu sendiri direncanakan akan dilaksanakan pada tanggal 28 Juni 2018 dan TPS biasanya dibuka dari pukul 07.00 s/d 13.00 Waktu setempat.
Di Wilayah Nusa Tenggara Tenggara Barat sendiri Pilkada serentak akan diselenggarakan di dua Daerah Kabupaten, yakni Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Timur dan satu Daerah Kota, yakni Kota Bima serta satu daerah Propinsi, yakni Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sebagaimana di daerah lain, untuk Pilkada di wilayah Nusa Tenggara Barat hingga saat ini sudah terdapat sejumlah bakal calon yang mendaftarkan diri, termasuk calon perseorangan.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, setiap kali menghadapi pelaksanaan Pilkada seringkali muncul fenomena politik uang (money politic) dan kampanye hitam (black campaign). Politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H Pilkada atau Pemilu.
Praktik politik uang dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan pemberian uang atau pemberian sembako seperti beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk pasangan calon (Paslon) tertentu.
Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran terhadap hukum Pilkada karena di dalam Pasal 73 UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota secara tegas dinyatakan bahwa Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi Pemilih. Calon yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan dikenai sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Selain politik uang yang sering terjadi menjelang dan pada saat berlangsungnya pilkada adalah kampanye hitam. Kampanye hitam atau black campaign umumnya diartikan sebagai kampanye dengan menjelekkan-jelekan lawan politik. Namun, sebenarnya dapat juga diartikan sebagai kampanye yang buruk seperti kampanye yang diramaikan dengan goyang porno. Kampanye hitam juga sering diartikan dengan kampanye untuk menjatuhkan lawan politik melalui isu-isu yang tidak berdasar.
Manifestasi kampanye hitam ini juga dalam berbagai bentuk seperti dengan mengisukan paslon punya istri tidak sah atau banyak, padahal kenyataannya tidak demikian. Kampanye hitam juga muncul berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.
Tujuan kampanye hitam ini adalah untuk mencegah atau menghilangkan dukungan masyarakat terhadap paslon tertentu sehingga kelak mereka tidak menjadi pemenang dalam Pilkada dan mengharapkan paslon yang didukunglah yang akan menjadi pemenang. Pengalaman di masa lalu, kampanye hitam ini sering tidak nampak di permukaan dalam bentuk ucapa-capan juru kampanye di mimbar melainkan melalui media sosial, atau penyebaran desas-desus dari mulut ke mulut. Oleh sebab itu beritanya sangat cepat menyebar di kalangan calon pemilih dan mungkin tanpa diketahui oleh Paslon tersebut ataupun oleh para simpatisan.
Kampanye hitam juga merupakan bentuk pelanggaran hukum dalam pelaksanaan Pilkada yang dapat dipidana penjara dan/atau denda. Dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 ditegaskan di dalam Pasal 69, bahwa dalam kampanye dilarang melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat; Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diancam pidana atau denda sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 187 ayat (2) yang menyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.600.000.00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000.00 (enam juta rupiah).”
Baik kampanye hitam maupun poltik uang harus secara tegas ditindak dan sejauh mungkin dihindari karena kedua bentuk pelanggaran hukum pilkada tersebut akan merusak tatanan demokrasi kita dan akan menyebabkan tidak terwujudnya tujuan pelaksanaan pilkada serentak tersebut.
Politik Uang atau Politik Perut ini sangat berbahaya dalam membangun sebuah proses demokrasi yang bersih. Politik uang akan merendahkan martabat rakyat karena suara rakyat hanya akan dinilai dengan bahan makanan atau uang yang sangat tidak sebanding dengan apa yang didapat oleh seorang calon kepala daerah setelah menduduki jabatan kelak. Politik uang juga merupakan pembodohan rakyat karena mereka telah dikelabui dengan bahan makanan dan sejumlah uang untuk memperoleh suaranya yang sebenarnya demikian berharga. Ditinjau dari demokrasi, politik uang dapat mengakibatkan cita-cita demokrasi untuk memperoleh dukungan rakyat terhadap pemimpin yang berkualitas dan mempunyai popularitas yang baik di tengah masyarakat akan sirna dan diganti dengan sekedar mencapai kemenangan. Akhirnya orang yang akan menjadi pemimpin adalah orang yang mampu membeli suara rakyat, tidak penting apakah ia patut dan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Seorang akhli pemerintahan yang terpelajar dan memiliki segudang ilmu dan pengalaman jika tidak memiliki uang jangan harap akan dipilih. Sebaliknya meskipun seseorang yang sekedar memiliki ijazah SLTA namun memiliki modal untuk membeli suara rakyat bisa menjadi pemimpin di negara ini. Pada akhirnya politik uang akan mengakibatkan kemunduran bagi bangsa karena tidak dipimpin oleh orang-orang yang memiliki kemampuan yang meadai.
Sementara itu, kampanye hitam juga sangat berbahaya karena mengandung unsur jahat dan melanggar norma, baik norma sosial maupun norma agama. Kampanye hitam juga memberikan pendidikan politik yang jelek bagi masyarakat. Kampanye hitam dapat mempengaruhi pencitraan terhadap kandidat calon dari partai politik tertentu. Citra yang diperoleh oleh orang tersebut adalah citra buruk sehingga seorang kandidat yang sebenarnya sangat berkualitas dan mampu menjadi pemimpin daerah yang baik, namun karena diisukan buruk oleh orang tertentu, maka sang calon akhirnya tidak terpilih, padahal ia belum tentu seperti apa yang dituduhkan kepadanya. Oleh sebab itu kampanye hitam dilihat dari segi demokrasi akan membuat tujuan demokrasi yakni untuk memperoleh pemimimpin yang baik dengan cara yang jujur tidak tercapai. Kampanye hitam juga dapat membuat perpecahan di tengah-tengah masyarakat, apalagi jika kampanye hitam itu memunculkan isyu SARA. Oleh sebab itu kampanye hitam harus dilarang dan bagi pelakunya harus dapat ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku.
Dalam rangka mencegah dan mengatasi politik uang dan kampanye hitam dalam pelaksanaan Pilkada serentak yang akan datang, semua pihak harus mengambil peran, baik KPU, Bawaslu, Pemerintah Daerah, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Perguruan Tinggi, terlebih-lebih Kepolisian Negara sesuai dengan kewenangan masing-masing. KPU dan Bawaslu perlu melakukan penyuluhan hukum terkait dengan Pilkada sehingga masyarakat menjadi mahfum apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Demikian juga Pemerintah Daerah melalaui kewenangannya untuk menjaga kondusifitas daerah, perlu melakukan penyuluhan hukum ke tengah-tengah masyarakat di daerah masing, baik dilakukan secara sendiri-sendiri dengan aparat yang ada atau bekerjasama dengan tokoh agama, tokoh masyarakat dan Perguruan Tuinggi. Wabil khusus Kepolisian sangat penting untuk melakukan upaya-upaya penyadaran terhadap masyarakat dan juga kepada tokoh-tokoh politik agar tidak melakukan perbuatan yang melanggar aturan Pilkada tersebut dan mengancam akan menindak tegas para pelakunya bila hal itu terjadi. Upaya yang telah dilakukan oleh kepolisian di daerah NTB dalam rangka cipta kondisi menghadapai Pilkada di daerah NTB patut diapresiasi karena jauh-jauh hari sebelumnya sudah melakukan berbabagai kegiatan seperti: adanya operasi khusus Ngerem Rasa yang telah diselengarakan di bulan September, Oktober tahun 2017, Safari Kamtibmas, Operasi Mantap Praja Gatarin 2018, kunjungan keseluruh Partai Politik yang ada di wilayah NTB., dll. Kesemuanya itu dilakukan tentu dalam rangka menghadapi Pilkada 2018 guna menciptakan suasana pesta demokrasi yang aman dan kondusif. Upaya-upaya tersebut tentu perlu diperluas dan bersinergi dengan intansi lain . Pilkada 2018 memang menghendaki semua pihak untuk bersama membangun kemitraan dan sinergisitas terutama dengan elemen terkait seperti Pemda, Polri, TNI, Linmas, toga, toma dan yang lainnya sedini mungkin untuk meminimalisir terjadinya konflik.
Semoga dengan upaya yang dilakukan Polda NTB selama ini dan partisipasi masyarakat yang maksimal, Pilkada serentak tahun 2018 yang akan berlangsung dalam bulan Juni mendatang akan berjalan lancar, aman dan damai serta tanpa money politik dan kampanye hitam.