HarianNusa.com, Mataram – Psikolog Mataram, Dr. Muazar Habibi, S.Psi., M.Psy., M.Pd mengatakan reaksi masyarakat merasakan seperti terjadi gempa meskipun saat itu tidak sedang terjadi gempa adalah phantom quake syndrome atau gempa khayalan.
Menurutnya, hal tersebut terjadi karena faktor psikologis mempengaruhi fisik, artinya saat gempa berkepanjangan mempengaruhi ritme tubuh secara sikologis.
“Kalau gempanya satu dua kali mungkin tidak akan berpengaruh pada pertahanan tubuh, tapi ini karena terjadi terus menerus selama tiga minggu, sehingga individu merasa ada getaran sedikit itu sudah merupakan gempa, bahkan sepeda motor lewat saja sudah merasa seperti gempa, buka pintu sudah seperti gempa,” ujarnya, Minggu, 2 September 2018.
Menurutnya, hampir semua masyarakat di Lombok mengalami gempa khayalan. Itu merupakan reaksi sistemik yang dipengaruhi oleh ketidaksadaran individu tersebut, karena seringnya gempa susulan yang terjadi di Lombok.
“Sekitar 99,9 persen masyarakat Lombok mengalami hal demikian. Ini adalah reaksi sistemik yang dipengaruhi oleh ketidaksadaran. Ketidaksadaran itu ditekan oleh faktor emosi campur rasa takut. Sehingga merespon sesuatu secara paranoid dengan merasa ada getaran-getaran,” jelasnya.
Sampai kapan reaksi tubuh tersebut berakhir? Menurutnya, itu tergantung setiap individu. Jika individu kesehariannya penuh aktivitas, maka gempa khayalan tersebut akan hilang dengan sendirinya.
“Ini wajar dan akan berangsur-angsur hilang jika individu itu beraktivitas seperti biasa sebelum dia terkena gempa. Tidak semua orang bisa merespon itu, ada orang yang apatis itu berbahaya. Apatis artinya kondisi putus asa. Orang yang down secara psikologi susah move on dengan paranoid terhadap getaran itu. Bahasa sikologisnya adalah sindrome tremor,” pungkas Dosen FKIP Universitas Mataram ini.
Sindrome tremor menurutnya adalah gejala-gejala yang dipengaruhi oleh getaran tertentu. Tidak semua orang bisa langsung melupakan.
“Orang yang mampu move on orang yang punya aktivitas atau kesibukan yang lain akan mudah hilangnya, tapi bagi mereka yang down susah akan terobati. Misalnya orang yang kehilangan harta benda, kehilangan keluarga akibat gempa. Orang yang baru memiliki harta kekayaan terus kena musibah, ini move on-nya lama,” paparnya.
Dr. Muazar menjelaskan, otak manusia memiliki soft time memory yaitu memori jangka pendek. Di mana reaksi gempa khayalan paling lambat selama seminggu akan berakhir. Namun, tidak sedikit orang memiliki memori jangka panjang atau long time memory seperti di Lombok saat ini.
“Kejadian di Lombok sudah long time memory, karena gempa susulan masih terus terjadi, sehingga masih banyak orang yang merasa ada getaran gempa, padahal saat itu tidak terjadi gempa,” ungkapnya.
Bagaimana tips melawan reaksi gempa khayalan tersebut? Dia mengatakan harus ada sugesti dari dalam diri manusia itu sendiri.
“Belajar dengan trik siapkan botol setengah air dan letakan di meja atau di mana saja. Kalau andai kata kita merasa ada gempa tapi air tidak goyang, itu jadinya kita bisa mengendalikan diri kita. Kedua cari kesibukan, aktivitas agar energi kita habis tidak memikir lagi gempa itu. Kemudian trauma healing keluarga, curhatnya dengan keluarga, tambahkan waktu dengan keluarga, kualitas pertemuan kita optimal. Terakhir, pasrahkan pada Allah,” ujarnya dengan lugas. (sat)