Cara Mitigasi Risiko Gempa dan Tsunami di Daerah Wisata

0
1642

HarianNusa – Selain memiliki keindahan, di sepanjang garis pantai Kuta yang berada di kawasan wisata The Mandalika Lombok sebagai salah satu destinasi wisata super prioritas juga memiliki potensi bencana gempa dan tsunami. Diperlukan upaya bersama dalam meningkatkan kewaspadaan dan untuk memitigasi risiko, apabila suatu waktu terjadi bencana.

Upaya mitigasi gempa bumi dan tsunami itu bertujuan untuk memperkecil risiko bencana yang mungkin saja bisa terjadi kapan saja.

Perlu ada upaya yang konkret semua pemangku kebijakan dan masyarakat yang beraktivitas di lingkar kawasan wisata dalam mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas menghadapi bencana tsunami.

“Dilihat dari potensi bencana alam, salah satunya adalah gempa bumi yang diakibatkan oleh subdoksi,” kata Kepala Stasiun Geofisika Mataram, Ardhianto Septiadhi kepada HarianNusa, Minggu (27/9/2021).

Ardhianto menjelaskan, subdoksi adalah zona pertemuan antar lempeng. Di bagian selatan pulau Lombok diketahui merupakan pertemuan antara lempeng Samudra Indo Australia dengan lempeng Eurasia. Kurang lebih letaknya 300 kilometer dari selatan pulau Lombok.

“Adanya subduksi menyebabkan aktifitas gempa selain zona patahan naik busur belakang di utara Lombok yang menjadi penyebab gempa Lombok di tahun 2018, untuk potensi gempa tentunya ada, namun tidak perlu dijadikan sebuah ketakutan. Yang perlu dilakukan adalah kesiapsiagaan,” ujar dia.

Langkah Mitigasi Bencana

Salah satu langkah antisipasi serta untuk mendukung Kuta Mandalika sebagai Kawasan Ekonomi Khusus, serta Kuta Mandalika sebagai Destinasi Wisata Super Prioritas, BMKG selalu siap memberikan informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami yang cepat dan akurat.

“Diperlukan peningkatan kemampuan, sarana dan prasarana dalam menghadapi gempabumi dan tsunami oleh para pemangku kepentingan di bidang kebencanaan,” kata Ardhianto

Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membangun kesiapsiagaan masyarakat dalam merespon peringatan dini tsunami yang dikeluarkan oleh BMKG, penyiapan jalur dan rambu evakuasi, serta titik kumpul.

Realisasinya, BMKG telah menyelenggarakan Sekolah Lapang Gempabumi pada 22-23 September 2021 di Hotel Segara Anak Kuta Mandalika, yang disertai dengan penerapan protokol kesehatan pandemi Covid-19.

Tujuan dari dilaksanakannya kegiatan ini adalah agar pemangku kepentingan bidang kebencanaan serta masyarakat dapat meningkatkan kapasitas dan pemahaman terkait respon peringatan dini tsunami dari BMKG.

Selain itu, tujuannya juga untuk memahami konsep evakuasi mandiri dan ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan sistem mitigasi tsunami di daerah Kuta Mandalika dengan secara langsung terlibat dalam penyusunan rencana evakuasi dan prosedur tetap dalam merespon peringatan dini tsunami.

Pada kegiatan itu telah dibentuk Tim Siaga Bencana di Desa Kuta yang anggotanya terdiri dari warga masyarakat yang mampu dan aktif sebagai penggerak dalam penanggulangan bencana tsunami di daerah Kuta Mandalika.

Lebih jauh dijelaskan Ardhianto bahwa dalam mitigasi risiko bencana, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu mengenali potensi bencananya, mengamati kejadian bencananya, diseminasi informasi kebencanaannya, dan meningkatkan kapasitas respon dari penduduk dan lingkungan yang berada dalam daerah bencana tersebut.

Kesiapsiagaan yang perlu dilakukan terdiri dari 12 indikator yang dibuat oleh BMKG, yaitu:
1. Peta rawan tsunami
2. Informasi jumlah masyarakat
3. Informasi publik tsunami
4. Inventris sumberdaya ekonomi, infrastruktur, politik, dan sosial untuk pengurangan risiko bencana.
5. Peta evakuasi bencana tsunami
6. Memiliki dan mendistribusikan materi pendidikan kesiapsiagaan bencana tsunami.
7. Kegiatan pendidikan dan kesiapsiagaan tsunami.
8. Pelatihan tsunami minimal 2 tahun sekali.
9. Rencana operasi darurat tsunami.
10. Kapasitas pendukung pelaksanaan tanggap darurat tsunami.
11. Kemampuan menerima peringatan dini tsunami 24/7.
12. Kemampuan menyampaikan peringatan dini ke publik selama 24/7.

“Artinya BMKG bekerja 24 jam selama 7 hari untuk memberikan informasi apabila ada kejadian gempabumi. Dari 12 indikator ini diperlukan sinergitas semua pihak di kawasan yang berpotensi terdampak,” ungkap Ardhianto.

Pewarta: Hari
Keterangan Foto: Alat sirine tsunami di Ampenan Mataram (BMKG Mataram/ist)