HarianNusa, Mataram – Anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Made Selamet, menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi NTB tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan terkait rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 518 tenaga honorer. Ia menilai kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan masalah sosial yang serius jika tidak dikaji secara matang.
“Kalau ada yang disebut-sebut sebagai ‘siluman’, ya disisir saja. Tapi jangan sampai yang benar-benar bekerja puluhan tahun justru menjadi korban,” ujarnya, Kamis, (4 /12/2025).
Made Slamet menyoroti fakta bahwa banyak tenaga honorer telah mengabdi belasan hingga puluhan tahun, namun menghadapi kendala teknis saat proses verifikasi dan pendataan ulang. Beberapa honorer disebut gagal masuk sistem karena keterbatasan kemampuan mengakses aplikasi maupun tidak sempat melakukan pengecekan data terakhir.
“Sebagian sudah lolos pendataan, sebagian lagi gagal karena faktor teknis. Ada yang ikut tes ASN kemarin tapi tidak lulus, padahal mereka senior di instansinya,” ujar Politisi PDIP itu.
Made Slamet menegaskan bahwa para honorer tersebut bukanlah “pegawai ilegal” karena setiap tahun mereka mengikuti proses verifikasi dan selalu menerima SK perpanjangan kontrak dari pemerintah daerah.
Ia memastikan, pihaknya akan mengawal persoalan ini dan mendorong Pemprov NTB untuk berkoordinasi dengan kementerian terkait di pemerintah pusat, termasuk Kementerian PAN-RB.
“Kami akan bantu koordinasi dengan pusat. Jangan sampai ada PHK. Masih ada celah sebelum keputusan final disahkan,” tegasnya.
Selain itu, ia menyebut adanya mekanisme anggaran yang dapat dimanfaatkan, seperti Belanja Tidak Terduga (BTT), untuk mengatasi kebutuhan mendesak para honorer yang terancam kehilangan hak gaji. Ia juga mempertanyakan alasan Pemprov NTB tidak menganggarkan kebutuhan honorer dalam APBD.
“Masa mobil listrik bisa dianggarkan, tapi 518 honorer tidak? Anggaran itu bisa diatur, BTT juga tidak harus dihabiskan,” jelasnya.
Untuk menghindari PHK massal, ia mengusulkan agar honorer yang tidak dapat ditempatkan di organisasi perangkat daerah (OPD) dapat dialihkan sesuai kompetensi ke program-program pemberdayaan lainnya.
“Ada yang ahli IT, ada yang ahli arsip. Bisa dialihkan sesuai kompetensi. Pemerintah daerah di banyak wilayah lain juga masih berupaya memperjuangkan honorer mereka,” ujarnya.
Lebih jauh, Made Selamet menilai rencana PHK ini menunjukkan kurangnya political will dari Pemprov NTB dalam memperjuangkan nasib para tenaga honorer. Hal ini, menurutnya, berbeda dengan sejumlah daerah lain yang terus berupaya meningkatkan status honorer mereka menjadi PPPK.
“Ini perbuatan tidak adil. Mereka sudah membangun NTB bertahun-tahun. Jangan cepat-cepat memutuskan PHK,” tegasnya.
Wakil rakyat dari Dapil Kota Mataram itu bahkan membuka kemungkinan memberikan pendampingan hukum apabila para honorer memilih untuk melakukan gugatan class action.
“Bukan untuk melawan pemerintah, tapi untuk membela rakyat. Kalau rakyat berhadapan dengan pemerintah, kami berpihak pada rakyat,” ucapnya.
Ia mendesak Gubernur NTB agar menunjukkan keberpihakan dan mencari titik temu terbaik untuk menjaga kelangsungan hidup para honorer.
“Kuncinya di Pak Gubernur. Jangan sampai mereka putus harapan. Pemerintah harus terus berupaya, jangan cepat menyerah,” tutupnya. (F3)
Ket. Foto:
Anggota DPRD NTB Fraksi PDIP, Made Slamet. (HarianNusa/fit)



