Oleh: Dwi Setiawan Chaniago., S.Sos., M.A
Sosiolog, Universitas Mataram
Prolog
Provinsi Nusa Tenggara Barat bersiap untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2018. Momen kontestasi politik kali ini diharapkan menjadi arena kompetisi pilkada yang bermartabat dengan mengedepankan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luber dan Jurdil). Salah satu momok yang dihadapi dan berpotensi mengganggu berlangsungnya pilkada yang Luber dan Jurdil adalah semakin meningkatnya potensi politik uang dalam event demokrasi tersebut. Dinamika politik uang pada momen pilkada merupakan musuh utama bagi lahirnya pemimpin yang berkualitas, sebab perilaku pemimpin koruptif merupakan hasil regenerasi dari politik uang dalam momen pilkada.
Politik uang merupakan penyakit (patologi) demokrasi. Dikatakan sebagai sebuah penyakit demokrasi sebab berdampak sistemik tidak hanya merusak kualitas demokrasi, regenerasi kepemimpinan yang tidak sehat, serta bermuara pada penyimpangan-penyimpangan penyelenggaraan pemerintahan dan sistem kepemimpinan koruptif di kemudian hari. Kondisi tersebut terjadi akibat dari proses input yang penuh transaksi pragmatis dalam mendapatkan kursi kepemimpinan. Untuk itu, responsivitas Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) dengan mendirikan Satuan Tugas Anti Politik Uang patut untuk diapresiasi, sebab merupakan langkah maju dalam upaya menciptakan pilkada yang bermartabat yang diharapkan menghasilkan pemimpin yang bermartabat pula.
Akar Penyebab dan Tantangan Satgas Anti Politik Uang
Mendekati momen pilkada fokus perhatian partai politik dan kontestan tertuju pada upaya meyakinkan pemilih dengan memanfaatkan jaringan, mesin politik dan organisasi guna memobilisasi dukungan masyarakat. Dalam upaya memperoleh dukungan masyarakat, terdapat banyak strategi yang digunakan dari mulai adu visi dan misi serta program, mengandalkan kharisma, identitas dan tidak jarang pula menjadi ajang transaksional menggunakan uang, barang maupun jenis materi lain. Jika strategi berbasis program, kharisma, dan identitas menghasilkan dinamika perlunya uang politik sebagai biaya untuk memperoleh simpatik masyarakat, maka dengan menggunakan strategi transaksional akan melahirkan fenomena politik uang.
Praktik politik uang juga sangat beragam, namun salah satu yang paling mencolok dan dirasakan secara massif hingga ke masyarakat umum adalah aktivitas pembelian suara (vote buying). Fenomena vote buying yang dikenal dalam berbagai istilah di masyarakat seperti serangan fajar, serangan subuh, dan berbagai sebutan lain telah cukup akrab di telinga masyarakat. Vote buying merupakan praktik membeli suara dengan memberikan sesuatu (uang, barang, dan bentuk lain) kepada pemilih untuk membalasnya dengan pemberian dukungan suara pada pemberi.
Fenomena jual beli suara dalam pilkada menjadi tantangan besar bagi Satgas Anti Politik UangPolda NTB. Hal tersebut disebabkan penyebab vote buying yang akumulatif. Dalam perspektif kontestan pilkada, vote buying dianggap sebagai cara realistis dalam menyikapi perilaku pemilih yang cenderung pragmatis, memanfaatkan momentum pilkada untuk mendapatkan keuntungan. Rendahnya pemahaman dan penghayatan demokrasi serta miskin strategi komunikasi politik menjadikan uangse bagai instrumen utama untuk membeli dukungan masyarakat. Jadi dapat dikatakan vote buying terjadi akibat kontestan politik gagal dalam menangkap esensi kontestasi politik dengan strategi politik yang berbasis visi dan misi dan program pro rakyat.
Secara sosiologis, penyebab vote buying diawali dengan terjadinya alienasi politik. Alienasi politik merupakan bentuk perasaaan keterasingan masyarakat terhadap pemimpin terpilih. Pemimpin pada dasarnya adalah produk demokrasi yang diciptakan oleh masyarakat melalui pemilu. Sebagaimana yang terjadi di dalam masyarakat, frekuensi dan intensitas interaksi calon-calon pemimpin dan masyarakat cenderung meningkat di momen pilkada, sedang ketika telah terpilih intensitas pertemuan dan kedekatan dengan masyarakat mengalami kemunduran. Kondisi tersebut menciptakan jarak antara pemimpin terpilih dan masyarakat. Jadi vote buying dalam kerangka berfikir alienasi politik merupakan wujud reaksi pragmatis masyarakat untuk memanfaatkan kondisi kontestasi pilkada di mana calon pemimpin banyak turun ke masyarakat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi (walaupun tidak signifikan), sebab hanya pada momen tersebutlah akses terhadap calon pemimpin menjadi terbuka lebar.
Fenomena vote buying biasanya dianggap sebagai hubungan mutual benefit (saling menguntungkan). Di satu sisi dengan uang dan materi kontestan pemilu dapat memobilisasi pendukung untuk memilihnya, di sisi lain masyarakat atau pemilih mendapatkan keuntungan materi. Apalagi aktivitas vote buying terjadi dengan pembenaran di kalangan masyarakat, seperti adanya ungkapan “ambil uangnya, jangan coblos orangnya”. Pun demikian logika tersebut tidak benar. Sebab dampak vote buying tidak dilihat dari jumlah suara yang diperoleh, melainkan jumlah uang yang dikeluarkan oleh kontestan, sehingga kalkulasi ongkos politik vote buying akan tetap bermuara pada perilaku koruptif pemimpin di kemudian hari.
Jadi tantangan Satgas Anti Politik Uang tidak semata menindak perilaku politik uang oleh kontestan pemilu yang berujung vote buying, namun secara sinergis bersama penyelenggara Pemilu dan Badan Pengawas Pemilu dapat merubah pola pikir (mindset) masyarakat yang merasa teralienasi agar tidak bersikap pragmatis memanfaatkan pilkada untuk mencari keuntungan dengan menukar hak suara dengan uang dan bentuk materi lainnya. Masyarakat harus sadar bahwa keuntungan yang didapat dalam aktivitas vote buying bersifat semu dan temporal, sedangkan konsekuensinya terhadap kehidupan masyarakat berlangsung selama 5 tahun yang ditandai dengan peningkatan potensi perilaku koruptif, program tidak pro-rakyat dan degradasi nilai-nilai demokrasi.
Epilog
Langkah strategis Polda NTB dalam menciptakan Satgas Anti-Politik Uang sangat baik untuk mendorong terlaksananya pilkada yang berkualitas. Tentunya efektivitas pelaksanaan peran Satgas perlu didukung dengan perubahan pola pikir (mindset) kontestan pemilu dan masyarakat untuk menjadi insan demokrasi yang bermartabat. Kontestan pemilu diharapkan dapat menggunakan cara yang elegan dan tidak melanggar aturan dalam merebut simpatik rakyat, dan di sisi lain masyarakat dapat menjadi pemilih yang kritis yang berbasis pada visi misi dan program. Fenomena vote buying sebagai patologi demokrasi hanya akan dapat diminimalisir jika perasaan keterasingan (alienasi) masyarakat terhadap pemimpin dapat dihilangkan. Caranya yakni dengan strategi komunikasi politik yang inklusif, humanis dan dekat dengan rakyat sehingga tidak memerlukan uang atau materi sebagai instrument untuk menarik simpati rakyat.

