HarianNusa.com, Nasional – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) gencar-gencarnya mengusulkan perubahan Hari Pers Nasional (HPN). HPN yang semula diperingati pada 9 Februari menurut dua organisasi wartawan tersebut sangat tidak tepat.
HPN yang diperingati pada 9 Februari dinilai lantaran bertepatan dengan hari lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sehingga sangat tidak relevan tanggal tersebut digunakan, dan terkesan peringatan HPN merupakan peringatan hari jadi PWI.
Usulan revisi tanggal HPN itu diajukan oleh AJI dan IJTI setelah setidaknya melalui dua seminar yang khusus membahas soal itu. Ketua AJI Indonesia, Abdul Manan menilai tanggal 9 Februari sangat tidak tepat dijadikan peringatan HPN.
“Kami menilai peringatan HPN dengan memakai tanggal lahir satu organisasi wartawan, yaitu PWI, tidaklah tepat dan kurang strategis. Sebab, itu mengesankan HPN itu hanya milik organisasi wartawan itu saja. Faktor ini juga yang membuat sejumlah organisasi enggan terlibat dalam peringatan HPN,” ujarnya dalam pers rilis yang diterima media ini, Kamis (19/04).
Faktor lain yang tak kalah penting adalah soal pelaksanaannya. Seperti layaknya peringatan hari besar nasional, pelaksanaannya tentu saja perlu mencerminkan kondisi aktual dan tantangan kontemporer yang diihadapi pers Indonesia. Misalnya, soal kebebasan pers yang masih terancam karena masih banyaknya undang undang yang bisa memenjarakan wartawan yang terdapat dalam KUHP, dan juga UU ITE. Tantangan lainnya adalah masalah kesejahteraan jurnalis yang masih dalam taraf memprihatinkan dan juga profesionalisme jurnalis yang masih jauh dari harapan. Juga soal media yang masih berjibaku dengan masalah ekonominya akibat turunnya media cetak dan belum ditemukannya model bisnis digital yang ideal.
“Sebagai hari peringatan profesi jurnalis, seharusnya HPN membahas topik-topik yang sedang dialami media dan jurnalis. Tapi dalam kenyataan, HPN tak banyak membahas soal-soal penting itu. Belum lagi soal banyaknya organisasi yang kemudian memakai acara HPN untuk minta uang ke pemda dan berbagai pihak dengan alasan untuk ikut HPN, yang itu tentu saja menodai profesi jurnalis. Sejumlah soal itulah yang berkobtribusi besar terhadap munculnya ide untuk merevisi HPN,” pungkasnya.
Esoknya, AJI akan menggelar rapat bersama Dewan Pers guna membahas permasalahan tersebut. Pada intinya, AJI dan IJTI tidak sepakat jika hari jadi PWI digunakan sebagai HPN. Terlebih lagi PWI memiliki catatan sejarah yang buruk pada masa lalu yang selalu dalam pusaran kekuasaan Orde Baru dan jarang mengadvokasi jurnalis.
“Kami akan menyampaikan apa saja alasan utama kami sehingga perlu mengusulkan perubahan tanggal peringatan HPN. Salah satunya adalah kelemahan dari tanggal HPN yang mendasarkan pada kelahiran satu organisasi wartawan, PWI. Sebab, kita tahu, PWI kan organisasi yang pada masa Orde Baru menjadi salah satu alat pemerintah untuk mengontrol jurnalis,” ungkapnya.
“Dengan posisi seperti itu, tak mengherankan jika organisasi itu lebih banyak berdiri di samping pemerintah daripada membela jurnalis. Hal itu terlihat jelas saat pemerintah membredel majalah Tempo, Editor dan tabloid Detik pada 21 Juni 1994. Bukannya membela jurnalis dan media yang dibredel, tapi justru malah membenarkan sikap pemerintah,” sambungnya.
Konteks sejarah seperti itu juga menjadi pertimbangan AJI perlu mengusulkan perubahan tanggal HPN, selain faktor pelaksanaannya yang dinilai kurang mencerminkan harapan komunitas pers dari sebuah acara nasional yang diperingati bersama.
“Dalam rapat juga akan kami sampaikan apa saja alternatif tanggalnya untuk menggantikan HPN yang 9 Februari itu,” tungkasnya.
Selain itu AJI juga merasa tidak tepat jika HPN menggunakan anggaran yang bersumber dari APBN maupun APBD, hal tersebut juga dinilai akan menciderai independensi jurnalis.
“Kami kurang sreg dengan pemanfaatan dana APBN/APBD untuk peringatan HPN. Idealnya pelaksanaan HPN harus ditanggung bersama. Kalau pun ada sokongan dari pihak luar, itu bukan menjadi sumber pendanaan utama,” jelasnya.
Ke depan perlu dipikirkan pelaksanaan HPN yang ditanggung bersama komunitas media dan organisasi jurnalis, dan kegiatannya juga tak harus mewah sehingga memakan biaya besar. Sebaiknya substansi acara lebih diutamakan daripada kemasannya. Lebih baik HPN dilaksanakan secara sederhana daripada bikin besar-besaran tapi manfaatnya kurang dirasakan bagi komunitas media, jurnalis, dan publik. Masih banyak masalah fasilitas umum yang belum bagus dan harusnya lebih diprioritaskan diperbaiki dengan dana APBN/APBD daripada mengalokasikannya untuk peringatan HPN,” jelasnya. (sat)