HarianNusa, Lombok Barat – Vanili menjadi salah satu komoditas perkebunan yang sangat potensial dalam mendorong ekonomi non tambang di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Ditingkat atas, vanili dianggap sangat menggiurkan tapi di lapangan belum berbanding lurus sebab petani vanili belum mendapatkan manfaat yang besar.
Beberapa petani vanili dari Dusun Kumbi Desa Pakuan, Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat, pada Juni 2023 lalu mendatangi salah satu pengusaha daerah, H. Miftahuddin Ma`ruf di Lingsar, Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat.
Mereka meminta kepada pengusaha property yang tengah konsen mengembangkan vanili ini agar bersedia menjadi off taker. Sebab setiap kali panen, petani Vanili di Dusun Kumbi selalu kebingungan untuk menjual hasil produksinya.
Vanili di Dusun Kumbi sudah dikembangkan oleh masyarakat setempat sejak tahun 1990-an. Saat itu, mereka mendapatkan bibitnya dari pemerintah daerah. Awalnya, hanya ditanam di pekarangan. Namun berkembang, tanaman vanili diperluas ke Kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di wilayah setempat.
Salah seorang petani vanili sekaligus Ketua Kelompok Wana Abadi, Dusun Kumbi, Supardi menjelaskan, anggota kelompoknya berjumlah 120 petani penggarap kawasan hutan yang seluruhnya menanam vanili.
Dulunya, masyarakat sangat tergiur dengan hasil dari menanam vanili. Sebab harganya berdasarkan informasi yang beredar bisa sampai Rp250.000 perkilo. Vanili sendiri adalah tanaman tumpang sari. Bisa tumbuh dan merambat pada batang pohon di sekitarnya. Petani setempat tidak melakukan pemupukan, ataupun penyemprotan dengan insektisida.
“Kami tidak memupuk, atau menyemprot. Kalau menggunakan pupuk malah busuk. Hanya kami melakukan pembersihan gulma saja,” sebut Supardi.
Belakangan harga vanili semakin tidak lagi seharum aromanya. Sebab harganya anjlok, bahkan sampai Rp50.000 perkilo basah. Selain itu, kata Supardi, belakangan vanili yang ditanam diserang penyakit busuk batang.
“Dengan harga seperti ini apa kita dapatkan. Kita mau jual kemana. Kita sangat mengharapkan pemerintah melakukan pembinaan kepada kami. Kalau ada penyakit begini bagaimana cara mengatasinya. Kalau sudah panen kita jualnya kemana,” katanya.
Karena dianggap sebagai komoditas yang tak lagi menjanjikan, Supardi mengatakan, petani vanili sudah beralih ke tanaman buah lainnya. Durian yang dianggap paling menjanjikan.
“Dari pada tidak ada kejelasan kita menanam vanili, kita beralih ke pohon buah durian,” demikian Supardi.
Petani lainnya, Haji Andi, juga mengeluhkan persoalan yang sama. Baru-baru ini ia menjual vanili hasil panennya. Harga jualnya dianggap rendah, hanya Rp75.000 perkilo basah. Karena harganya yang rendah ini, petani vanili bahkan tak berminat memanen.
“Kita dikasi tahu, sudah tidak ada lagi bos-bos yang beli vanili. Makanya sampai tiga bulan kita tidak panen. Dibiarkan buahnya pecah begitu saja, saking tuanya,” ujarnya.
Kendati demikian, petani masih tetap memiliki harapan dan tetap menanam vanili. Karena relatif tidak membutuhkan biaya. Cukup hanya rutin dilakukan pemeliharaan dengan membersihkan gulma disekitar batang.
Ia juga berharap, pemerintah sebagai pembina agar turun melakukan pendampingan kepada petani.
Kondisi yang diceritakan petani vanili Dusun Kumbi ini berbanding terbalik dengan informasi ditingkat atas. Baru-baru ini, 1 ton vanili diekspor ke Amerika Serikat. Dilepas di Balai Karantina Lembar, Kabupaten Lombok Barat.
Permintaan pasar luar negeri sangat menjanjikan. Dari satu buyer saja di Amerika Serikat, mereka membutuhkan sebanyak 24 ton vanili NTB. Baru 1 ton yang dipenuhi. Belum lagi permintaan dari buyer-buyer lainnya, pun dari negara-negara lain selain Amerika Serikat. (03)
Ket. Foto:
Ketua Kelompok Wana Abadi, Dusun Kumbi, Supardi menunjukkan tanaman vanilinya. (Istimewa)
