HarianNusa, Banyuwangi – Ketidaksesuaian data manifes penumpang dalam insiden tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali menjadi sorotan serius Komisi V DPR RI. Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Abdul Hadi, menilai bahwa persoalan ini menunjukkan lemahnya tata kelola penyeberangan laut di Indonesia, terutama dalam aspek pengawasan dan akurasi administrasi pelayaran.
“Data manifes adalah elemen vital dalam keselamatan pelayaran. Ketika ada penumpang yang tidak tercatat, maka proses evakuasi dan identifikasi korban jadi bermasalah. Ini bukan hanya pelanggaran administratif, tapi bentuk kelalaian yang mengancam nyawa,” tegas Abdul Hadi dalam kunjungan kerja Komisi V DPR RI ke Banyuwangi, Selasa (22/7/2025).
Ia menyebut bahwa praktik semacam ini jelas melanggar Pasal 137 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang mewajibkan seluruh penumpang dan barang tercantum dalam manifes sebelum kapal diberangkatkan.
Menurut Abdul Hadi, persoalan ini bukan kejadian yang berdiri sendiri. Ia merujuk pada sejumlah kecelakaan laut sebelumnya—seperti tenggelamnya KMP Yunicee pada 2021 dan insiden kebakaran KM Barcelona V—yang sama-sama memperlihatkan lemahnya disiplin keselamatan dan pengawasan pelayaran.
“Manifes yang tidak akurat seringkali menjadi penanda adanya kelebihan muatan, penyelundupan, hingga potensi pelanggaran hukum lainnya. Ini harus dihentikan. Negara tidak boleh membiarkan praktik ini terus berlangsung,” katanya.
Selain itu, Abdul Hadi menyoroti kurangnya tanggung jawab dari lembaga pengawas seperti syahbandar. Ia menilai bahwa selama ini, ketika kecelakaan terjadi, tanggung jawab hukum cenderung hanya dijatuhkan kepada nakhoda, sementara pejabat pelabuhan yang mengeluarkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) nyaris tak tersentuh.
“Jika pengawasan hanya formalitas, maka sistem akan terus gagal. Syahbandar harus ikut bertanggung jawab jika kapal yang diberangkatkan ternyata tidak memenuhi standar keselamatan,” ujarnya.
Ia juga menilai bahwa absennya pengarahan keselamatan kepada penumpang sebelum pelayaran turut memperburuk situasi. Banyak penumpang tidak tahu cara menyelamatkan diri karena tidak diberi informasi dasar keselamatan.
Sebagai langkah konkret, Abdul Hadi mendorong Kementerian Perhubungan untuk mempercepat digitalisasi sistem manifes, mewajibkan prosedur safety induction, serta memperkuat inspeksi berkala dan fungsi pengawasan di lapangan. Ia juga meminta Mahkamah Pelayaran untuk menindak tegas setiap pelanggaran, baik oleh operator kapal maupun pejabat terkait.
“Kalau kita biarkan ini berulang, maka korban berikutnya hanya tinggal menunggu waktu. Keselamatan pelayaran harus menjadi prioritas nasional, bukan sekadar slogan,” pungkasnya.