HarianNusa.com, Mataram – Front Perjuangan Rakyat (FPR) NTB menggelar aksi kedatangan Presiden Joko Widodo di Lombok. Aksi tersebut digelar di Arena Budaya Universitas Mataram, Kamis (23/11).
Puluhan aktivis membentangkan spanduk dan berorasi. Massa menuntut Jokowi dengan sejumlah tuntutan. Di antaranya meminta penyelesaian persoalan tanah di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika.
Korlap Aksi, Syarif Hidayat dalam orasinya mengatakan KEK Mandalika yang diresmikan saat kedatangan Jokowi bulan lalu masih menyisakan persoalan. Persoalan tersebut antara lain, tanah warga yang belum dibayar, soal relokasi warga pasca peresmian KEK dan tanah warga yang justru salah bayar.
“Saat peresmian KEK Mandalika oleh presiden, ternyata masih ada persoalan pada tanah milik warga. Di antaranya tanah yang belum dibayar, termasuk relokasi warga di kawasan tersebut dan sejumlah persoalan lain,” ujarnya.
Selain itu, massa juga mengungkap praktik monopoli lahan di NTB. Dari total 2.015.315 Ha luas daratan NTB, 71% di antaranya yaitu seluas 1.436.975,32 Ha telah dikuasi oleh tuan tanah besar berupa Kesatuan Pengelola Hutan (KPH).
Dalam orasinya, massa mengatakan KPH merupakan lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah reaksi untuk mengontrol kawasan hutan baik secara politik maupun ekonomi dan kebudayaan serta militer yang menguasai lahan sekitar 1.071.722,83 Ha.
Kemudian Sektor pertambangan adalah sektor dengan penguasan lahan terbesar kedua setelah kehutanan, bahkan lebih dari setengah kawasan pertambangan berada di kawasan hutan NTB.
“Pada tahun 2013 lalu, pemerintah NTB telah mengeluarkan 241 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan dua kontrak Karya atas nama PT. NNT/PT. AMNT dan PT. Sumbawa Timur Mining (PT.STM), dengan luas Wilayah Konsesi pertambangan tersebut adalah 891.590 Ha,” papar Syarif.
Ia juga menjabarkan, Taman Nasional sebagai salah satu instrumen negara dalam menguasi tanah yang menunjukan negara sebagai tuan tanah menguasai 112.975,74 Ha dari luas daratan NTB, yang terbagi menjadi dua kawasan Taman Nasional yaitu Taman Nasional Gunung Rinjani yang berada di Pulau Lombok dan Taman Nasional Gunung Tambora yang berada di Pulau Sumbawa.
“Kemudian sektor Perkebunan dan Pertanian, untuk pengembangan sektor perkebunan luas lahan yang dikuasai sampai saat ini yang berhasil kami tabulasi adalah seluas 133.427,35 Ha dengan pengembangan berbagai jenis tanaman komoditas mulai dari kayu untuk Industri, Jambu Mente, Tebu, Kelapa, dan lain sebagainya,” jelasnya.
Mahasiswa juga menyoroti sektor pariwisata di NTB. Menurut massa, Luas penguasaan lahan untuk pengembangan pariwisata adalah 16.279,30 Ha yang terbagi menjadi 17 kawasan, 7 kawasan berada di wilayah Pulau Sumbawa dan 10 kawasan berada di kawasan Pulau Lombok. Massa menilai kawasan untuk pengembangan pariwisata kerapkali dilakukan dengan cara perampasan tanah milik warga.
Tidak luput dalam agenda kedatangan Jokowi, massa juga menyoroti sektor infrastruktur dan pembangunan. Menurut mereka, untuk menopang investasi, memakan lahan yang sangat luas. Pembangunan infrastruktur yang memakan lahan yang luas dan memakan biaya yang mahal menurut mahasiswa bukan berorientasi bagi kepentingan rakyat, melainkan segelintir orang.
“Faktanya dari banyak infrastruktur yang telah berhasil dikerjakan, tidak satu pun sesuai dengan aspirasi rakyat. Infrastruktur yang ada saat ini hanya diperuntukkan bagi kepentingan untuk mempermulus ekspansi kapital baik melalui utang maupun investasi semata,” ungkapnya.
Kegiatan pemerintah tersebut dinilai berdampak pada minimnya penguasaan tanah oleh petani, sehingga membuat masyarakat justru dirugikan. (sat)