Hariannusa.com, Mataram –Prof. Dr. Suprapto, M.Ag., akhirnya dikukuhkan sebagai guru besar (profesor) Bidang Ilmu-ilmu Sosial Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram.
Pengukuhan guru besar dilakukan melalui Sidang Senat Terbuka UIN Mataram dan dihadiri seluruh anggota senat, dan dosen, serta mahasiswa UIN Mataram, di Aula Gedung Pascasarjana UIN Mataram, Kamis,(7/12).
Dalam orasi ilmiah yang diberi judul “Kolaborasi Studi Agama dan Studi Perdamaian untuk Memperkuat Harmoni Sosial”, Prof. Suprapto mengungkapkan bangsa Indonesia dalam dua dekade terakhir menghadapi ujian luar biasa berkaitan dengan cara merawat kemajemukan.
Hal tersebut menurutnya merupakan ujian bagi elit negeri ini apakah mereka mampu memanfaatkan keragaman sebagai modal membangun bangsa atau sebaliknya perbedaan menjadi senjata mematikan dan menghancurkan.
Akibatnya, tidak jarang konflik sosial bernuansa kekerasan terjadi di berbagai daerah. Di antara konflik sosial yang pernah terjadi, konflik agama atau konflik bernuansa agama merupakan salah satu jenis konflik yang tak mudah diurai. Jenis konflik ini merupakan konflik serius karena melibatkan aspek keyakinan, melibatkan internal pemeluk agama yang sama maupun antar pemeluk agama yang berbeda.
Tak saja di Indonesia jelas alumni HMI ini, konflik bernuansa agama juga terjadi di berbagai negara seperti konflik Yahudi dengan Muslim Palestina, Budhis dan Hindu di Sri Langka, Hindu dan Muslim di India, Muslim dan Kristen di Nigeria, Budha dengan Muslim di Rohingya Miyanmar dan lain sebagainya.
Lebih jauh pria yang menamatkan S 3 pada Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyebut konflik sosial berlatar agama tersebut ironi mengingat semua agama dalam konsepnya lahir sebagai pembawa kedamaian, dan kasih sayang.
Belum lagi lanjutnya, simbol-simbol keagamaan yang nampak terlihat di ruang publik semakin mempertegas bahwa bangsa ini adalah bangsa yang religius. Meski demikian, simbol-simbol keagamaan ini masih belum bisa meyakinkan semua pihak bahwa agama hadir dan menjadi motor penggerak perdamaian sosial.
Lebih jauh dikatakan Suprapto, dari catatan The Wahid Institute sebagaimana dikutip dalam siaran pers Indonesian Conference on Religion And Peace (ICRP) tanggal 23 Januari 2014 mencatat kasus pelanggaran kebebasan beragama. Pada tahun 2013 terdapat 245 kasus pelanggaran kebebasan beragama dengan 278 tindakan intoleransi. Sebelumnya tahun 2012 sebanyak 278 kasus dengan 363 tundakan intoleransi. Tahun 2009 terjadi 121 kasus, tahun 2010 terdapat 184 kasus, dan 267 kasus pada tahun 2011.
Untuk itu, pria kelahiran Madiun, 20 Juli 1972 ini berharap agar semakin banyak kajian atas studi perdamaian kedepan dengan memaknai damai tidak saja dalam makna peperangan, melainkan juga ketiadaan kekerasan di suatu wilayah atau negara.
“Apa artinya damai, harmoni bila disitu masih berlangsung tindakan-tindakan diskriminatif, represif. Kondisi semacam ini belum merefleksikan perdamaian sejati,” ujar Prof. Suprapto seraya berharap guru besar yang diperolehnya tidak saja bermanfaat secara personal, namun juga bagi institusi.
Sementara itu, Rektor UIN Mataram Dr. H. Mutawali, M.Ag., mengapresiasi pidato ilmiah yang disampaikan Prof. Suprapto, M.Ag. Menurutnya, konflik tidak saja terjadi di ranah sosial, tapi juga di ranah akademik. Untuk itu, diperlukan dialog akademik yang akan menambah semakin tajamnya daya intelektual.
Lebih jauh Mutawali mengatakan bahwa agama dalam bentuk apapun tidak bisa dianggap sebagai sumber lahirnya konflik. Posisi agama justru sebaliknya. Orasi ilmiah Prof. Suprapto ini menutnya sesungguhnya sebagai karya ilmiah yang mengajarkan banyak perpsektif tentang agama, dan kedamaian.
Ketua Senat UIN Mataram Prof. Dr. H. Muhammad Taufik, yang membuka sidang senat terbuka berharap agar jumlah guru besar UIN Mataram dapat bertambah di masa mendatang. (f3)