HarianNusa.com, Mataram – Proyek pembangunan dermaga di Pantai Pink Lombok Timur oleh Dinas Pariwisata NTB akhirnya dibatalkan. Pembatalan dilakukan setelah Gubernur NTB, TGH M. Zainul Majdi melakukan pengecekan langsung ke lokasi.
Saat pengecekan langsung, TGB dikabarkan marah atas pembangunan dermaga yang dinilai merusak keindahan pantai. Pasalnya dermaga dibangun di tengah-tengah pantai, sehingga sangat merusak pemandangan di sana.
“Kita sudah cek lapangan, itu ternyata posisinya di tengah pantai. Saya minta dihentikan, tidak ada lagi pembangunan di situ. Nanti kita pikirkan, kalau pun ada jangan di tengah pantainya, mungkin di sudut sehingga tidak merusak. Nanti kita diskusikan lagi,” ujar TGB sapaan akrab Gubernur NTB belum lama ini.
Proyek pembangunan dermaga untuk mengakomodir wisatawan berjalan-jalan menggunakan perahu melihat spot di lokasi wisata tersebut. Tiga lokasi yang digadang akan dibangun dermaga yakni Pantai Pink, Pantai Kuta dan Pantai Selong Belanak. Pantai Pink diminta untuk dihentikan proyek dermaga yang telah mulai dibangun tersebut, sementara proyek pembangunan dermaga di dua pantai lainnya diminta untuk direvisi.
Sebelumnya FITRA NTB telah menyoroti proyek dermaga di Pantai Pink. Sekjen Fitra NTB Ervyn Kaffah menilai tingginya perhatian publik terhadap isu tersebut membuat terbuka peluang proyek dermaga di Pantai Pink dihentikan. Jika nantinya proyek tersebut dihentikan, para pemimpin birokrasi tidak cukup sekedar menghentikan, namun harus ada pertanggungjawaban dari perencanaan proyek tersebut.
“Jika menilai tingginya perhatian publik, terbuka peluang proyek tersebut dihentikan pelaksanaannya. Jika itu terjadi, langkah para pemimpin birokrasi tidak cukup dengan sekedar menghentikan, harus ada pertanggungjawaban bagaimana proses perencanaan proyek tersebut sejak awal hingga proyek tersebut ditolak. Demikian pula bagaimana proses pengambilan keputusan pemindahan proyek ke lokasi baru di Pantai Pink,” paparnya belum lama ini.
Pertanggungjawaban pemerintah menurut Ervyn sangat penting dilakukan. Pertama terkait kelayakan proyek dan penggunaan anggaran.
“Apakah proyek memang dibutuhkan dan memang layak dilaksanakan sesuai rencana kerja Pemda di sektor pariwisata atau sedari awal memang tidak layak (salah perencanaan),” pungkasnya.
“Begitu pula jika proyek tersebut dihentikan. Tidak dapat ditolak bahwa ada kerugian yang harus ditanggung daerah dan publik, karena Pemda harus membayar bagian proyek yang telah berjalan kepada penyedia/pelaksana proyek,” sambungnya.
Selain itu kejelasan mengenai pihak yang bertanggungjawab diperlukan. Menurut Ervyn, kejelasan mengenai pihak yang bertanggungjawab terhadap keputusan pembangunan dermaga di Pantai Pink diperlukan dalam menguatkan budaya birokrasi berbasis “merrit-system”.
“Kita harus meninggalkan budaya lama: segenap pujian untuk pimpinan/atasan saat proyek/program sukses atau meraih prestasi, tapi saat muncul masalah selalu staf yang dianggap bersalah,” cetusnya.
“Saya berpendapat, pemindahan lokasi proyek tersebut tentu telah melalui proses management sehingga pengambilan keputusan telah melalui mekanisme yang berlaku di birokrasi,” tambahnya.
Terakhir, Ervyn menambahkan tanpa adanya kejelasan mengenai hal ini dapat memunculkan potensi stigma terhadap kepala OPD dan staf yang membawahi proyek tersebut sebagai pihak yang dianggap bersalah atau tidak becus mengambil keputusan atau bekerja, padahal belum tentu demikian. (sat)