HarianNusa.com, Mataram – Wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) atau yang biasa dikenal dengan julukan “Bumi Gora” merupakan wilayah yang memiliki potensi cukup besar di bidang pariwisata karena keindahan alam dan budayanya. Namun di balik itu semua, wilayah NTB juga memiliki potensi terhadap bencana yang cukup besar khususnya bencana gempa bumi.
Sepanjang tahun 2017, hasil monitoring gempa bumi di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Mataram mencatat sebanyak 1071 kali gempa bumi mengguncang NTB.
Kepala Stasiun Geofisika Mataram, Agus Riyanto mengatakan, dari total 1071 kali gempa bumi di NTB, rata-rata jumlah gempa bumi per hari sebanyak tiga kali. Gempa terbanyak pada bulan September akibat adanya erupsi Gunung Agung Bali yang berdekatan dengan NTB.
“Rata-rata jumlah gempa bumi per hari yang terjadi dari awal tahun 2017 hingga 19 Desember 2017 adalah tiga kejadian. Gempa bumi paling banyak terjadi pada bulan September, hal ini lebih dominan diakibatkan oleh peningkatan aktivitas Gunung Agung di Karangasem, Bali yang banyak menghasilkan gempa bumi vulkanik,” ujarnya, Minggu (24/12).
Berdasarkan kekuatannya, gempa bumi yang paling sering terjadi di Bumi Gora didominasi oleh kekuatan M < 3,0 sebanyak 643 kejadian atau 60% dari total kejadian gempa bumi. Jumlah gempa bumi paling banyak berikutnya memiliki kekuatan 3,0 ≤ M ≤ 5,0 dengan 418 kejadian atau 39% dari total kejadian gempa bumi.
Gempa bumi dengan kekuatan M > 5,0 memiliki jumlah kejadian yang relatif paling sedikit yaitu 10 kejadian atau hanya 1% dari jumlah total kejadian gempa bumi sepanjang tahun 2017, karena semakin besar kekuatan gempabumi, maka stres yang dibutuhkan untuk menghasilkan gempa bumi tersebut juga besar.
Agus menjelaskan, secara umum, di wilayah NTB dan sekitarnya memiliki dua generator sumber gempa bumi. Pertama zona pertemuan Lempeng Indo Australia dengan Lempeng Eurasia di sebelah selatan atau biasa dikenal dengan sebutan Zona Subduksi, dan kedua adalah aktivitas Sesar Naik Belakang Busur Flores (Flores Back Arc Thrust) dari arah utara.
“Sumber gempa bumi di zona subduksi biasanya dapat menghasilkan gempa bumi dengan kedalaman dangkal, menengah dan dalam, dengan kecenderungan semakin ke utara lokasi gempa bumi maka kedalaman gempa bumi semakin dalam akibat penunjaman lempeng yang semakin ke utara semakin dalam,” jelasnya.
Sedangkan sumber gempa bumi akibat Sesar Naik Belakang Busur Flores biasanya menghasilkan gempa bumi dengan kedalaman dangkal. Selama tahun 2017, di wilayah NTB dan sekitarnya didominasi oleh kejadian gempa bumi dengan kedalaman dangkal (D < 60 Km) dan kedalaman menengah (60 Km ≤ D ≤ 300 Km) berturut-turut sebanyak 860 kejadian dan 199 kejadian, sedangkan untuk kejadian gempa bumi dengan kedalaman dalam (D > 300 Km) hanya terdapat 12 kejadian.
GEMPA BUMI TERASA
Sepanjang tahun 2017, dari 1071 kejadian gempa bumi yang terjadi di wilayah NTB dan sekitarnya, terdapat 19 kejadian gempa bumi yang terasa. Sebanyak 18 gempa bumi yang dirasakan oleh masyarakat ini memiliki kekuatan gempa bumi dalam rentang M=3,5 hingga M=6,4, dan 1 gempa bumi memiliki kekuatan relatif kecil yaitu M=2,7 yang dirasakan di Lantung (Sumbawa) sebesar II-III MMI.
Gempa bumi yang terjadi pada 7 Mei 2017 pukul 15.16.26 Wita ini, terasa karena memiliki kedalaman sumber yang sangat dangkal yaitu 10 Km, dengan episenter yang relatif dekat dengan Lantung pada 8,78o LS dan 117,57o BT.
“Secara umum sebagian besar gempa bumi terasa tersebut didominasi oleh gempa bumi dengan kedalamanan menengah sebanyak 10 kejadian dan dangkal sebanyak 7 kejadian, dengan hanya 2 kejadian gempa bumi pada kedalaman yang dalam,” paparnya.
Dari 19 Kejadian gempa bumi terasa, terdapat satu gempa bumi yang cukup signifikan dirasakan oleh masyarakat di wilayah NTB dan sekitarnya. Gempa bumi tersebut adalah gempa bumi yang mengguncang Bima dan Waingapu.
Hasil analisis update dari BMKG menunjukkan bahwa gempa bumi ini terjadi pada 31 Oktober 2017 pukul 06.37.19 Wita, dengan kekuatan M=5,4. Episenter terletak pada koordinat 8,88 LS dan 118,98 BT, atau tepatnya berlokasi di laut pada jarak 18 km arah tenggara Kota Rupe, Kabupaten Bima, Propinsi Nusa Tenggara Barat pada kedalaman 133 km. Dampak gempabumi ini dirasakan di Ruteng, Labuhan Bajo, dan Tambolaka II SIG-BMKG (III-IV MMI), Bima, Waingapu II SIG-BMKG (III MMI), Nusa Dua I SIG-BMKG (II-III MMI), dan Gianyar I SIG-BMKG (II MMI).
“Jika ditinjau dari kedalaman hiposenternya, gempa bumi yang terjadi merupakan jenis gempa bumi menengah akibat aktivitas Subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa bumi ini dipicu aktivitas sesar naik (Thrust Fault),” katanya.
PENGUATAN SISTEM MONITORING GEMPA BUMI
Seiring dengan perkembangan teknologi untuk mempercepat penyampaian informasi terkait gempa bumi, pada November 2017 Stasiun Geofisika Mataram memasang alat baru yaitu SeiscomP3 (Seismic Communication Processing 3).
SeiscomP3 merupakan suatu perangkat lunak yang digunakan untuk menganalisis sinyal seismik secara real-time sehingga menghasilkan parameter gempa bumi secara cepat dalam kurun waktu kurang dari 5 menit.
“Dengan adanya perangkat SeiscomP3 di Stasiun Geofisika Mataram, diharapkan pelayanan informasi gempa bumi di wilayah NTB dapat disampaikan secara cepat, tepat, dan akurat,” ucapnya.
Perkembangan sistem monitoring gempa bumi yang semakin maju untuk menopang rantai peringatan dini bencana khususnya gempa bumi, perlu diimbangi oleh peran serta masyarakat dalam mendukung rantai peringatan dini ini. Edukasi tentang potensi bencana gempabumi dan tsunami di daerah NTB, perlu ditanamkan sejak dini agar masyarakat semakin paham dan pada akhirnya menjadi suatu budaya di tengah-tengah masyarakat dalam meningkatkan daya tanggap masyarakat terhadap bencana. (sat)