Ahmad Zuhairi, SH., MH
Belum lama ini kita dikagetkan oleh kasus yang fantastis yaitu penetapan 41 dari 45 orang anggota DPRD Kota Malang. Namun belum cerita ini usai, giliran anggota DPRD Kota Mataram yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Kejaksaan Negeri Mataram karena diduga melakukan meminta bagian dari dana rehabilitasi sekolah pasca gempa. Fenomena korupsi di anggota Dewan yang terhormat ini membuat kita pesimis akan keberlangsungan demokrasi kita di masa yang akan datang. Dalam Undang-Undang Tipikor, orang yang melakukan korupsi pada saat terjadi bencana, maka diancam dengan pidana pemberatan bahkan ancaman pidananya sampai hukuman mati (Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Jika kita belajar dari sejarah demokrasi di Athena, Yunani, sebuah Negara kelahiran demokrasi yang pertama, dalam konsep demokrasi yaitu kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, sehingga dalam perwujudan itu tidak semua rakyat harus mengurusi kepentingan publik sehingga diserahkan sebagian kewenangan itu melalui mekanisme perwakilan yang disebut dengan parlemen. Dalam mengutus seorang parlemen, masyarakat Athena akan melakukan pemilihan terhadap orang terbaik yang dapat mewakili kepentingannya sehingga tidak disalah gunakan. Oleh karena pemilihan sangat selektif, sehingga demokrasi bisa mencapai tujuannya yaitu welfare state (Negara kesejahteraan), Proses penunjukan figur yang dianggap pantas menjadi parlemen ini merupakan sesuatu yang fundamental dalam sistem demokrasi.
Melihat kenyataan yang ada sekarang ini, kita belum menemukan sistem ketata negaraan yang lebih baik dari sistem demokrasi sehingga untuk sampai saat ini, demokrasi masih dianggap sistem yang terbaik dari semua sistem yang ada. Di Indonesia kita menganut sistem demokrasi sebagai sistem ketatanegaraan, dengan pemilihan umum sebagai perwujudannya, di mana presiden, DPR, dan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Kemudian untuk mewujudkan percepatan pemerataan, pemerintah mengeluarkan undang-undang otonomi daerah yaitu Undang-Undang 32 Tahun 2004 dan diiringin oleh Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah. Undang-Undang inilah yang pertama kali melegalisasi pemilihan kepala daerah dan DPRD dipilih langsung oleh rakyat. Namun niatan desentralisasi ini untuk mewjudkan percepatan pemertaan di Indonesia, namun yang terjadi adalah munculnya raja-raja kecil di daerah, dan DPRDnya menjadi penghambat kemajuan daerah karena uang APBD banyak dikorupsi oleh mereka.
Lalu siapa yang salah?
Kalau melihat sistem yang ada, dalam pemilihan anggota DPRD lima tahunan sekali, yang memilih adalah rakyat, one man one vote. Sehingga yang menjadi pertanyaan adalah kenapa rakyat masih banyak memilih koruptor menjadi perwakilannya di DPR, inilah menjadi PR besar kita sebagai bangsa Indonesia bagaimana membuat masyarakat bisa menjadi pemilih cerdas. Karena pemilih cerdas, pertimbangan yang dipakai dalam memilih adalah track record, prestasi, integritas dan moralitas calon. Berbeda dengan pemilih fanatik dan pemilih awam. Pemilih fanatik memilih bukan berdasarkan logika track record, prestasi dan integritas tapi berdasarkan fanatisme suku, golongan, organisasi. Begitu pula halnya dengan pemilih awam, pemilih awam banyak berkutat pada persoalan perut, sehingga siapa yang berani membayar dia, maka dialah yang akan dipilih. Sehingga dua pemilih terakhir inilah yang berpotensi menghasilkan calon-calon anggota dewan yang korup atau memilih anggota dewan yang eks narapidana korupsi. Meskipun MA telah memutuskan meloloskan calon eks narapidana korupsi tapi jika pemilih kita sudah mulai menjadi pemilih cerdas tentu calon-calon tersebut tidak akan terpilih. Ungkapan tersebut pernah dinyatakan oleh Prof. Taverne, seorang Yuris Belanda, bahwa: “Sediakan saya hakim yang adil, dengan hukum yang burukpun, keadilan bisa ditegakkan”. Artinya bukan sistemnya yang persoalan tapi adalah manusianya. Oleh karenanya, ini adalah pekerjaan rumah yang cukup berat buat KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara untuk mengajak masyarakat menjadi pemilih cerdas, serta menjadi tanggung jawab bersama juga sebagai masyarakat Indonesia, sehingga anggota dewan yang terhormat kita yang duduk di DPR bebas dari korupsi.