Minggu, Februari 16, 2025
BerandaNTBSukseskan Zero Waste, Pemprov NTB Belajar Pengelolaan Sampah ke Jakarta

Sukseskan Zero Waste, Pemprov NTB Belajar Pengelolaan Sampah ke Jakarta

- iklan Paket Wisata di Lombok - Explore Lombok
- iklan Web Hosting Murah -Paket Web Hosting Murah

HarianNusa.Com – Dalam mewujudkan suksesnya Zero Waste yang merupakan salah satu program NTB Gemilang di bawah kepemimpinan Gubernur Zulkieflimasyah dan Wakilnya Sitti Rohmi Djalillah, Selain menggencarkan program bank sampah di tiap desa, Pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Barat juga ingin mengambil pelajaran dari Pemprov DKI Jakarta yang sudah jauh lebih berpengalaman dalam pengelolaan sampah.

Kepala Biro Humas dan Protokol Pemprov NTB, Najamuddin Amy mengatakan banyak kekhawatiran dan nada pesimis dari masyarakat tentang program bebas sampah yang dicanangkan Pemprov NTB.

Najamuddin mengatakan untuk menjawab keraguan masyarakat tersebut, yakni dengan belajar, mengadopsi, dan memodifikasi program pengelolaan sampah yang betul-betul dikelola dengan teknologi. Hal tersebut, kata Najam, ada di TPST Bantargebang dengan segala kompleksitas persoalannya.

“Seperti dikatakan Pak Gubernur (NTB) dan Ibu Wagub, apabila sampah dikelola dengan baik akan menjadi berkah. Namun kalau tidak bisa dikelola akan menjadi bencana dan sumber penyakit,” ujar Najamuddin saat berkunjung ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu malam, (24/4/19).

Disampaikan Najamuddin, total sampah di NTB yang terdiri atas 10 kabupaten/kota mencapai 3,388,76 ton per hari. Dari jumlah tersebut, hanya 631,92 ton yang sampai ke 10 tempat pembuangan akhir (TPA) per hari. Sementara jumlah sampah yang tidak sampai ke TPA atau tidak terkelola dan beredar di sekitar masyarakat mencapai 2,695,63 ton atau 80 persen. Sedangkan sampah yang berhasil di daur ulang baru sebesar 51,21 ton per hari.

Najamuddin mengatakan produksi sampah terbesar berada di Kabupaten Lombok Timur sebanyak 801,74 ton per hari, dimana hanya 15,40 ton saja yang sampai ke TPA, sementara 786,26 atau 98 persen tidak sampai ke TPA atau tidak terkelola dengan baik.

Urutan kedua, lanjut Najam yakni Kabupaten Lombok Tengah dengan 645,73 ton sampah per hari, dimana hanya 12,25 persen yang ke TPA, sedangkan 627,64 ton sampah atau 97 persen tidak sampai ke TPA. Sementara untuk Kota Mataram, jumlah sampah yang dihasilkan mencapai 314,30 ton per hari, 273 ton yang sampai ke TPA dan 15,71 ton didaur ulang sehingga hanya 15,59 ton sampah atau 5 persen yang belum dikelola dengan baik.

“Yang tidak sampai ke TPA menjadi sumber penyakit karena beredar di tengah masyarakat,” kata Najamuddin.

Najamuddin mengatakan belum maksimalnya pengelolaan sampah lantaran kurangnya SDM dan juga alat pengangkut sampah dari TPS menuju TPA. Mengenai jumlah TPA, sejatinya masih cukup.

Najam menjelaskan 10 kabupaten dan kota di NTB memiliki TPA dengan rincian TPA Kebon Kongok seluas 8,41 hektare untuk Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat, TPA Pengengat di Lombok Tengah seluas 10 hektare, TPA Ijo Balit di Lombok Timur seluas 8 hektare, TPA Jugil di Lombok Utara seluas 8 hektare, TPA Oi Mbo di Kota Bima seluas 7 hektare, TPA
Waduwani di Kabupaten Bima dengan luas 7 hektare, TPA Lune di Dompu seluas 9, dan TPA Batu Putih di Sumbawa Barat seluas 5 hektare. Sementara Kabupaten Sumbawa memiliki dua TPA yakni TPA Raberas seluas 6 hektare dan TPA Lekong seluas 9 persen.

Najamuddin menilai, NTB masih memiliki cukup waktu untuk berbenah dalam hal pengelolaan sampah. Pasalnya, jumlah sampah NTB belum sebanyak yang diterima Jakarta. Meski hal tersebut juga relatif tidak sepadan mengingat NTB dan Jakarta merupakan dua wilayah yang berbeda, baik dari segi jumlah penduduk, geografis wilayah, hingga kekuatan anggaran. Namun, lanjut Najamuddin, NTB dapat mengambil pelajaran dari Jakarta yang mampu mengelola sampah dalam jumlah besar dengan memanfaatkan teknologi.

“Ini momentum bagi NTB, sesungguhnya tidak ada sesuatu yang tidak mungkin, belum terlambat untuk NTB karena sampah kita belum sebesar DKI Jakarta ini,” ucap Najamuddin.

Kepala Satuan Pelaksana Energi Terbarukan, Komposting, dan 3 R, serta Pemrosesan Akhir Sampah, Dinas Lingkungan Hidup, Pemprov DKI Jakarta, Rizky Febriyanto menjelaskan TPST Bantargebang sudah ada sejak 1989, hasil investasi perusahaan swasta dengan nilai investasi sekira Rp 700 miliar untuk pengelolaan sampah secara keseluruhan. Sempat gonta-ganti kepemilikan oleh swasta dan Pemprov DKI, hingga akhirnya, pada 2016 dimiliki Pemprov DKI Jakarta.

“Secara administratif, TPST Bantargebang berada di Kelurahan Ciketing Udik, Sumur Batu, dan Cikiwul, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Meskipun terletak di Kota Bekasi, namun status tanah dimiliki Pemprov DKI Jakarta,” jelas Rizky.

Rizky menyampaikan TPST Bantargebang memiliki luas total mencapai 110,3 hektar. Dari luas total tersebut, 81,91 persen difungsikan aktif sebagai tempat pembuangan sampah yang terbagi menjadi 5 zona lahan urug sanitar. Sementara sisanya yang sebesar 19,09 persen digunakan untuk sarana lainnya, seperti akses masuk, jalan ke kantor, dan instalasi pengolahan limbah.

Rizky menambahkan, TPST Bantargebang melakukan berbagai program, mulai dari sistem pengolahan sampah, sistem penimbangan sampah daring, komposting, pembangkit listrik tenaga sampah atau power house, instalasi pengolahan air sampah, pencucian kendaraan angkutan sampah, hingga penghijauan.

“Sampah yang diproduksi warga Jakarta yang dibawa ke TPST Bantargebang saat ini sekitar 7 ribu sampai 8 ribu ton sampah per hari,” ujar Rizky.

Dalam pengelolaan sampah, kata Rizky, TPST Bantargebang membatasi ketinggian landfill atau timbunan sampah, tidak lebih dari 40 meter guna mengantisipasi terjadinya longsor.

Pemprov DKI Jakarta memperkirakan kandungan sampah di Bantargebang sebanyak 39 juta ton dengan gunungan tertinggi mencapai 40 meter. Kapasitas TPST Bantargebang sendiri diperkirakan memuat sebesar 49 juta ton. Dengan sisa 10 juta ton, TPST Bantargebang diprediksi akan mengalami titik puncak pada 2021.

“Daya tampung Bantargebang akan maksimal pada 2021, tiga tahun Bantargebang tidak mampu menampung lagi sampah warga Jakarta,” lanjut Rizky.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pemprov DKI sudah memiliki rencana membangun fasilitas pengolahan sampah di dalam kota atau Intermediate Treatment Facility (ITF) di sejumlah wilayah di Jakarta, salah satunya di Sunter, Jakarta Utara. Rizky menyampaikan fasilitas mengolah sampah dengan mengubahnya menjadi listrik ini ditargetkan rampung pada 2021. Nantinya, ITF di Sunter diprediksi akan mampu mengolah sampah 2.200 ton per hari.

“Dengan adanya fasilitas pengolahan sampah di dalam kota, diharapkan sampah yang dikirim ke Bantargebang tidak lagi 7 ribu sampai 8 ribu ton per hari,” kata Rizky.

Rizky menambahkan, TPST Bantargebang juga memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang merupakan proyek percontohan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Sementara mengolah sampah seperti PLTS yang mengubah sampah menjadi sumber listrik memang baru mampu mengolah 100 ton per hari.

“Ini jadi model bagi provinsi lain untuk membangun, diinisiasi BPPT. Listrik kita pakai sendiri karena bukan untuk konsumsi,” ungkap Rizky.

Alokasi anggaran menjadi krusial dalam isu pengelolaan sampah suatu daerah. Namun Rizky menilai, pengelolaan sampah belum menjadi skala prioritas secara umum di Indonesia.

“Anggaran pengelolaan sampah menjadi bukan prioritas seperti dianaktirikan, yang diutamakan selalu infrastruktur dalam kota, padahal cantiknya pusat kota, belum tentu rapi di hilir,” lanjut Rizky.

Rizky tidak menampik biaya tinggi yang dibutuhkan dalam pengelolaan sampah. Rizky mengatakan Pemprov DKI Jakarta menggelontorkan dana sebesar Rp 400 miliar per tahun kepada pihak swasta yang kala itu masih mengelola TPST Bantargebang. Namun setelah diambil alih Pemprov DKI Jakarta, alokasi anggaran mampu ditekan hingga sebesar Rp 300 miliar yang dikucurkan kepada UPT TPST Bantargebang. Kata Rizky, alokasi anggaran selalu meningkat setiap tahunnya mengingat kebutuhan sarana pendukung seperti alat berat. Sementara Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, lanjut Rizky, mendapatkan alokasi anggaran sekira Rp 3 triliun dari APBD untuk mengelola lingkungan di Jakarta.

“Kami kerap mengadu ke Kementerian PU dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan soal kesulitan anggaran karena sering ditolak lantaran dinilai high cost,” ucap Rizky.

Menurut Rizky, pengelolaan sampah akan terus menjadi masalah kalau sistemnya masih landfill dengan memindahkan sampah dari TPS ke TPA. Kondisi tersebut hanya akan membuat lebih banyak gunungan sampah yang berpotensi longsor dan kebakaran. (f3)

Kepala Biro Humas dan Protokol NTB Najamuddin Amy bersama Kepala Satuan Pelaksana Energi Terbarukan, Komposting dan 3 R serta Pemrosesan Akhir Sampah, Dinas Lingkungan Hidup, Pemprov DKI Jakarta, Rizky Febriyanto saat berkunjung ke TPST Bantargebang (Hariannusa.com/f3).

 

Berita Lainnya
spot_img
spot_img
spot_img
Minggu, Februari 16, 2025
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img

Trending Pekan ini

Minggu, Februari 16, 2025
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -
- Advertisment -

Banyak Dibaca

Berita Terbaru

- Advertisment -
error: Content is protected !!