HarianNusa.com, Internasional – Setelah berdirinya Negara Israel di tanah Palestina pada 1948, saat yang sama pula semakin merajalelanya pembantaian-pembantaian penduduk sipil Palestina oleh militer Israel. Berdirinya Negara Israel pada 14 Mei di Palestina merupakan kepiawaian David Ben Gurion dalam memanfaatkan situasi saat itu untuk mendeklarasikan bangsa tersebut pasca eksodus kaum Yahudi ke Palestina setelah Deklarasi Balfour 1917.
Dari catatan sejarah, dalam rentan waktu 1880-1919 terjadi ketegangan diplomatik antara penguasa Turki Utsmani dan pihak sekutu Eropa yang dimotori Inggris. Ketegangan tersebut memuncak menjadi kerusuhan masal di Palestina dan Jaffa. Inggris kemudian diberi mandat dalam menguasai Palestina pasca runtuhnya Turki Utsmani. Hal tersebut memicu perlawanan bangsa Arab terhadap dominasi asing di tanah Palestina.
Bawono Kumoro dalam bukunya berjudul “Hamas: Ikon Perlawanan Islam Terhadap Zionis Israel” memaparkan munculnya gerakan-gerakan perlawanan terhadap zionis Israel yang menguasai Palestina. Gerakan perlawanan bermula dari perlawanan bangsa Arab yang berlangsung antara 1948 hingga 1967. Namun kekalahan demi kekalahan selalu dialami bangsa Arab dalam membebaskan Palestina.
Akhirnya gerakan perjuangan kemudian dilakukan oleh bangsa Palestina sendiri. Perjuangan menuju kemerdekaan Palestina dimotori oleh dua faksi, yakni faksi yang memilih menggunakan jalur diplomasi dan kooperatif dengan Israel dan faksi yang bergerak dengan perlawanan senjata tanpa ada kata diplomasi dengan musuh di negeri sendiri.
Faksi yang bergerak dengan diplomasi tersebut terhimpun dalam Palestine Liberation Organization (PLO). Organisasi tersebut merupakan organisasi gabungan dari beberapa organisasi yang berjuang secara kooperatif melawan Israel. Didirikannya organisasi tersebut pada 1964 melalui Muktamar Umum Rakyat Palestina pada 28 Mei hingga 2 Juni 1964 di Kota Al-Quds atau dikenal dengan Jerusalem.
Ketua PLO yang terpilih pertama kali adalah Ahmad Al-Syuqairi. Organisasi tersebut merupakan organisasi yang dilatari berbagai ideologi. Ideologi mayoritas di organisasi tersebut adalah komunis dan sosialis.
Faksi-faksi yang tergabung dalam PLO yakni Fatah yang didirikan oleh Yasser Arafat dengan ideologi nasionalis-sekluer, Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) didirikan Dr. George Habash pada 1967 dengan berhaluan komunis radikal, Popular Democratic Front for the Liberation of Palestine (PDFLP) yang merupakan pecahan PFLP.
Kemudian Arab Libration Front (ALF), yakni faksi berhaluan sosialis, Palestine Communist Party didirikan Suleiman Najjab pada 1984 dengan ideologi komunis namun tidak radikal layaknya ideologi komunis lainnya. Palestine Liberation Front, Palestinian Popular Struggle Front (PPSF), Al-Sa’iqa, PFLP-GC yang juga pecahan PFLP dan Palestine Liberation Army yang merupakan sayap militer resmi milik PLO.
Tujuan organisasi tersebut ada tiga poin penting. Pertama, Palestina merupakan bagian dari Arab dan tak akan terpisahkan dari tanah Arab. Kedua, Palestina dengan batasan-batasannya yang telah ada pada masa perwalian Inggris merupakan kesatuan wilayah yang integral, dan bangsa Arab-Palestina merupakan penentu sah di tanah air. Setelah Palestina berhasil meraih kemerdekaan maka Palestina berhak menentukan nasib sendiri.
Perjuangan demi perjuangan digalakan dalam melawan Israel. Saat itu kemerdekaan Palestina merupakan harga mati. Sama sekali tidak mementingkan latar belakang ideologi, melainkan perjuangan bersama dalam mengusir penjajah.
Di lain sisi terbentuk faksi yang memilih tidak menggunakan jalur diplomasi pada Israel. Kelompok gerakan bawah tanah ini di antaranya adalah Islamic Jihad of Palestina (Jihad Islam). Terbentuk pada 1980 oleh anak-anak muda Palestina yang menimba ilmu di Mesir. Jihad Islam pecah menjadi tiga.
Selain Jihad Islam, terbentuk juga Hamas, suatu organisasi yang dipimpin Syaikh Ahmad Yassin. Kelompok pejuang bersenjata pembebasan Palestina yang hingga saat ini masih aktif melawan Israel.