Dwi Setiawan Chaniago,. S.Sos., M.A
Sosiolog Universitas Mataram
Pendahuluan
Mendekati momen kontestasi pilkada, banyak pihak mengharapkan iklim kehidupan sosial masyarakat tetap berlangsung kondusif. Sebagai pesta demokrasi tentunya momen pilkada harus menjadi momen krusial yang menggembirakan untuk memilih pemimpin baru yang diharapkan dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Kendati demikian, dalam menjaga kondusifitas pilkada bukan tanpa tantangan. Apalagi jika dilihat dinamika politik dewasa ini yang telah bergeser menggunakan sosial media. Saat ini sosial media sudah menjadi bagian integral dan menjadi saluran efektif yang digunakan baik dari level struktural partai politik, tim sukses hingga simpatisan dalam membangun citra positif kontestan yang diusung. Hal tersebut tentu sah-sah saja, selama tidak melanggar aturan yang berlaku.
Berkaca dari realitas yang ada, pemanfaatan sosial media sebagai media iklan dan kampanye politik tidak jarang bertendensi pada penggunaan ujaran kebencian (hate speech) dengan berbagai isu suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA). Dampak yang muncul akibat bertebarannya hate speech di sosial media tidak hanya dirasakan pada kepentingan kontestan pilkada. Lebih jauh, hate speech dan eksploitasi isu SARA membawa dampak negatif dalam kehidupan sosial masyarakat yang terkotak-kotak (terpragmentasi), memperbesar potensi konflik diferensiasi sosial, serta gangguan keamanan masyarakat. Dalam mengantisipasi gangguan (instabilitas) keamanan selama Pilkada, Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) mengoptimalkan peran Cyber Troops memfilter peredaran hate speech dan penyebaran kampanye hitam (black campaign) di sosial media.
Rangkul Opinion Maker; Langkah Strategis Polda NTB
Keberadaan Cyber Troops dalam meminimalisir hate speech dan eksploitasi isu SARA sebagai kampanye hitam sangat strategis dan urgens dalam mengawal pelaksanaan Pilkada. Sebagaimana yang kita ketahui ajang kontestasi politik semacam Pilkada tidak hanya menjadi arena diskursus dan kompetisi para kontestan namun meluas hingga ke simpatisan dan masyarakat. Maraknya peredaran hate speech, eksploitasi isu SARA sebagai kampanye hitam berpotensi menimbulkan tindakan-tindakan provokatif yang mengganggu kondusifitas dan kualitas Pilkada.
Penggunaan hate speech dan eksploitasi isu SARA merupakan representasi kemiskinan strategi politik dan kegagalan dalam memahami esensi kampanye. Selama ini cukup sering penggunaan kampanye hitam (black campaign) sebagai upaya untuk memberikan stigma negatif, bahkan pembunuhan karakter kontestan dengan tudahan tanpa dasar. Di sisi lain, kita semua harus bisa memahami bahwa yang beredar saat ini di sosial media tidak hanya black campaign namun juga kampanye negatif (negative campaign). Masyarakat harus paham, bahwa black campaign dapat mengganggu kondusifitas pilkada, dapat memicu perpecahan dan bentuk perbuatan kontra-produktif lain. Sebab isu yang disampaikan umumnya adalah isu yang sifatnya destruktif atau merusak baik bagi kontestan pilkada, parpol maupun bagi masyarakat. Hal tersebut dikarenakan pesan yang disebarkan dalam black campaign adalah berita-berita yang tidak didasari fakta, penuh rekayasa, dan manipulatif.
Berbeda dengan negative campaign, dalam konteks berdemokrasi masih mungkin untuk ditolerir sebab walaupun berisi hal-hal negatif namun hanya tertuju pada kelemahan kontestan atau parpol yang didasari fakta. Adanya negative campaign bertendensi menimbulkan sikap kritis dan selektif bagi para pemilih dalam menentukan kandidat yang dipilih. Dalam hal ini, upaya meminimalisir black campaign yang dapat memicu perpecahan merupakan domain Cyber Troops dan harus disupervisi oleh penyelenggara pemilu beserta masyarakat. Namun terkait adanya negative campaign, merupakan ranah kedewasaan demokrasi yang masih bisa ditolerir. Dan demi netralitas, Satgas Cyber Crime harus mampu memilah keduanya agar tidak terseret dalam konflik kepentingan.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa obrolan seputar Pilkada bukan hanya ranah kontestan dan para pendukung strukturalnya. Lebih jauh simpatisan dan bahkan masyarakat umum di luar struktur partai menjadi aktif membicarakan topik terkait kontestan selama momen Pilkada. Hampir dari semua unsur tersebut memiliki andil di sosial media sebagai opinion maker. Opinion maker tidak hanya menjadi ranah pegiat sosial media, namun hampir seluruh lapisan seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, budayawan, serta tokoh dan parapihak lain yang menjadi rujukan dan panutan masyarakat berperan penting dalam mengedukasi masyarakat agar terhindar dari black campaign dengan menyebarkan hate speech dan berita provokatif.
Hendaknya berbagai unsur opinion maker yang belakangan ini aktif membicarakan berbagai topik Pilkada dan kontestan dapat memberikan pencerahan dan pemberitaan yang teduh dan informatif. Hal tersebut penting untuk menghindari perpecahan di dalam masyarakat. Berbagai kunjungan dan safari politik yang dilaksanakan oleh Jajaran Polda NTB ke parapihak merupakan langkah strategis dalam membangun kesepahaman (konsensus), bahwa substansi pilkada adalah mencari pemimpin terbaik yang mampu memayungi seluruh lapisan masyarakat. Sehingga masyarakat boleh menilai bahwa jika unsur opinion maker justru memecah belah melalui black campaign untuk menjatuhkan kontestan lain patut dipahami sebagai calon pemimpin yang tidak mengayomi.
Kesimpulan
Momen Pilkada hendaknya menjadi momen refleksi untuk kita dapat memilih pemimpin terbaik. Jadi sudah sewajarnya berbagai hate speech, eksploitasi isu SARA, dan bentuk komodifikasi kebencian lain yang disampaikan sebagai black campaign dapat dihindari. Pada akhirnya, tulisan ini menjadi pengingat untuk kita semua agar mampu menjadi opinion maker yang baik dengan menyampaikan informasi yang edukatif dan tidak memecah belah, sebab ongkos sosial dari black campaign sangatlah mahal jika harus mengorbankan persatuan dan kesatuan. Dan untuk para penyelenggara Pilkada dan Tim Cyber Troops Polda NTB dapat menjadi penengah yang baik dalam mensukseskan Pilkada di Bumi Gora tercinta.