HarianNusa.com – Rencana KPU RI memberikan hak pilih kepada warga negara yang mengidap disabilitas mental mengundang banyak reaksi dari masyarakat.
Pro-kontra bermunculan soal wacana penderita gangguan jiwa memiliki hak pilih. Kritik atas wacana KPU tersebut datang dari kalangan akademisi.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram, Ahmad Zuhairi, mengkritisi wacana KPU tersebut. Menurutnya, secara teoritik ilmu hukum, tidak setiap orang dianggap cakap/boleh melakukan perbuatan hukum, seperti anak di bawah umur (minderjerig) dan pengidap gangguan jiwa.
“Kalau mereka membuat sebuah perjanjian maka perjanjian itu dapat dibatalkan, karena tidak terpenuhi syarat subyektifnya, seperti yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata tetang syarat sah perjanjian,” ujarnya, Jumat, 30 November 2018.
Dia menjelaskan, syarat sahnya perjanjian dalam pasal tersebut yakni, sepakat, cakap, hal tertentu dan causa yang halal.
“Jika syarat sepakat dan cakap dilanggar maka perjanjian itu dapat dibatalkan dan jika syarat hal tertentu dan causa yang halal dilanggar maka perjanjian itu batal demi hukum atau perjanjian itu dianggap tidak pernah ada,” jelasnya.
Dia mencontohkan, jika anak kecil melakukan transaksi jual-beli, dalam perspektif hukum perjanjian ini dapat dibatalkan, karena subyek hukumnya belum cakap atau melanggar syarat subyektif.
“Orang atau subyek hukum dianggap cakap melakukan perbuatan hukum jika dia sudah berumur 21 tahun untuk laki-laki dan 19 tahun untuk perempuan atau sudah pernah kawin, selain itu dia tidak berada di bawah pengampuan atau gila,” ungkapnya.
Demikian juga dengan pertanggungjawaban terhadap perbuatan pidana yang dilakukan penderita gangguan jiwa.
Hal ini menurutnya diatur dalam pasal 44 ayat (1) KUHP mengatakan bahwa tidaklah dapat dihukum barangsiapa melakukan sesuatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya.
“Karena pertumbuhan akal sehatnya yang tidak sempurna atau karena gangguan penyakit pada kemampuan akal sehatnya. Artinya tidak sempurna akal sehat seseorang menjadi salah satu alasan penghapus pidana,” ucapnya.
Menurutnya, perbuatan mencoblos di TPS merupakan perwujudan dari pelaksanaan perjanjian sosial. Sehingga agar perjanjian tersebut sah, maka harus memenuhi unsur-unsur syarat sah perjanjian.
“Jika KPU mengeluarkan keputusan bahwa orang yang disabilitas mental atau orang cacat mental mendapatkan hak pilih, dengan alasan bahwa dia adalah warga negara, ini tentu adalah logika yang keliru,” terangnya.
Artinya, kata Zuhairi, jika menggunakan logika tersebut seharusnya balita dan anak-anak yang lahir di Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia, maka dia seharusnya boleh mempuyai hak pilih, karena mereka adalah warga negara Indonesia yang sah.
“Karena itu, KPU yang bertugas sebagai penyelenggara dalam pemilihan umum, untuk mendapatkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas tidak boleh membuat sebuah peraturan yang akan melahirkan distorsi pada pemilihan itu sendiri dan justeru menimbulkan problem baru,” kritiknya. (sat)