Akreditasi Rumah Sakit: Membangun Budaya Kerja Bukan Hanya Selembar Sertifikat

Penulis: dr. Indri Hapsari, Sp.A. M.Sc. Mahasiswa Magister Hukum Kesehatan Universitas HangTuah Surabaya Dokter Spesialis Anak RSUD Tripat Lombok Barat

0
1445

Penulis: dr. Indri Hapsari, Sp.A. M.Sc.
Mahasiswa Magister Hukum Kesehatan Universitas HangTuah Surabaya
Dokter Spesialis Anak RSUD Tripat Lombok Barat

Setelah lebih dua tahun vakum karena pandemi Covid-19, kegiatan akreditasi rumah sakit saat ini kembali dilaksanakan seluruh rumah sakit di Indonesia. Aturan perundang-undangan mensyarakatkan bagi seluruh rumah sakit melakukan akreditasi yang dilakukan oleh lembaga independen yang ditunjuk oleh Kementrian Kesehatan. Akreditasi rumah sakit sudah mulai berjalan hybrid kombinasi daring dan luring sejak pertengahan tahun 2022. Saat ini ada enam lembaga independen yang melakukan akreditasi rumah sakit yang ditunjuk, dan rumah sakit bebas menentukan pilihan untuk menggunakan lembaga mana dalam melakukan akreditasi di rumah sakitnya masing-masing. Saat ini terdapat 6 lembaga akreditasi rumah sakit yaitu : KARS, LARSDHP, LAM-KPRS, LAFKI, LARS, dan LARSI.

Jika menilik kegiatan akreditasi sebelumnya yang dilaksanakan pada periode 2018-2019 ada beberapa hal yang menarik yang bisa kita catat dari kegiatan akreditasi ini. Kegiatan akreditasi sendiri mengajarkan kepada pemberi pelayan kesehatan untuk memperhatikan mutu pelayanan dan keselamatan pasien. Semua kegiatan di rumah sakit harus kembali kepada dua hal tersebut yaitu menjaga mutu pelayanan dan memperhatikan keselamat pasien.

Semua yang disyarakatkan dalam akreditasi adalah hal ideal yang wajib dimiliki dan dilakukan oleh rumah sakit sesuai dengan kapasitan kelas pelayanan yang diberikan. Rumah sakit dinyatakan lulus akreditasi jika memenuhi nilai minimum dari seluruh aspek pelayanan yang dinilai. Jika masih kurang akan diminta perbaikan dan akan dinilai ulang sampai kemudian nilai minimal itu terpenuhi.

Namun setelah kegiatan akreditasi ini vakum lebih dari dua tahun, banyak kegiatan yang dilakukan oleh karyawan seolah-olah kembali kepada ritme seperti sebelum dilakukan akreditasi, kalaupun ada perubahan mengkin tidak menyeluruh atau tidak optimal. Kondisi ini bisa dilihat ketika bimbingan sebelum proses akreditasi dilaksanakan, banyak hal yang menjadi catatan pembimbing baik dari kelengkapan dokumen, bukti pelaksanann maupun pada waktu simulasi dalam pelayanan.

Satu pertanyaan besar dari kegiatan akreditasi ini adalah apakah kemudian akreditasi ini sekedar syarat lulus supaya rumah sakit tetap bisa berjalan dalam memberikan pelayanan ataukah memang ada kesungguhan untuk benar-benar berubah ke arah yang lebih baik dalam memberikan pelayanan. Salah satu diskusi penulis dengan beberapa pimpinan rumah sakit menyetujui peryataan tersebut. Ketika akreditasi ini hanya menjadi program dari manajemen yang melibatkan seluruh karyawan, maka ketika kegiatan penilaian akreditasi selesai pola kerja akan kembali kepada kebiasan yang sudah mereka lakukan sebelumnya.

Ketika kegiatan akreditasi ini adalah hajat seluruh karyawan dan mereka mempunyai tangung jawab yang sama melakukan akreditasi atas dasar kesadaran maka yang terbangun adalah rasa memiliki dari seluruh karyawan, akreditasi bukan suatu paksaan bagi mereka namun merupakan kesadaran dan kebutuhan yang harus mereka kerjakan dalam memberikan pelayanan dan pada akhirnya terbentuk budaya kerja yang akan memperhatikan mutu pelayanan dan memperhatikan keselamatan pasien.

view of operating room
ilustrasi ruang operasi rumah sakit (Pixabay on Pexels.com)

Dasar Hukum Akreditasi Rumah Sakit

Kementerian Kesehatan mewajibkan dilaksanakannya akreditasi rumah sakit dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan rumah sakit di Indonesia. Dasar hukum pelaksanaan akreditasi di rumah sakit adalah UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, UU No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit dan Permenkes 12 tahun 2020 tentang akreditasi rumah sakit. Akreditasi mengandung arti suatu pengakuan yang diberikan pemerintah kepada rumah sakit karena telah memenuhi standar yang ditetapkan. Rumah sakit yang telah terakreditasi, mendapat pengakuan dari pemerintah bahwa semua hal yang ada di dalamnya sudah sesuai dengan standar. Sarana dan prasarana yang dimiliki rumah sakit, sudah sesuai standar. Prosedur yang dilakukan kepada pasien juga sudah sesuai dengan standar.

Akreditasi Membentuk Budaya Kerja

Untuk mendapatkan tingkat kelulusan akreditasi yang baik, diperlukan adanya kerja sama antar semua pihak di rumah sakit. Semua karyawan rumah sakit, mulai dari pimpinan puncak sampai karyawan lapis terbawah harus memiliki semangat yang sama dalam mewujudkannya. Manjemen dan seluruh karyawan harus memiliki pemahaman yang sama mengenai alasan dilaksanakannya akreditasi. Jangan sampai ada pihak di rumah sakit yang menganggap bahwa akreditasi ini menjadi beban yang menambah kerjaan mereka karena harus bekerja sesuai standar akreditasi. Sejatinya, standar-standar yang dijadikan komponen penilaian dalam survey akreditasi adalah untuk dipenuhi dan diimplementasikan dalam jangka panjang bukan hanya pada saat survey akreditasi. Dengan adanya kerjasama dan semangat yang sama tinggi dari semua pihak di rumah sakit, bukan hal mustahil akan terciptanya layanan kesehatan berkualitas tinggi yang langgeng bagi masyarakat.

Dengan terakreditasi maka manfaat yang diperoleh adalah peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit terhadap mutu dan keselamatan pasien yang ada di rumah sakit tersebut. Manfaat yang diperoleh rumah sakit dari proses akreditasi antara lain :

a. Meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa rumah sakit menitik beratkan, sasarannya pada mutu pelayanan dan keselamatan pasien.

b. Menyediakan lingkungan kerja yang aman dan efisien sehingga karyawan merasa puas.

c. Mendengarkan pasien dan keluarga mereka, menghormati hak-hak mereka, dan melibatkan mereka sebagai mitra dalam proses pelayanan

d. Menciptakan budaya mau belajar dari laporan insiden keselamatan pasien.

e. Membangun kepemimpinan yang mengutamakan kerja sama. Kepemimpinan ini menetapkan prioritas untuk dan demi terciptanya kepemimpinan yang berkelanjutan untuk meraih kualitas dan keselamatan pasien pada semua tingkatan.

f. Selain pasien yang meningkat kepercayaannya, akreditasi juga mampu menetapkan standar lingkungan kerja yang aman dan efisien sehingga seluruh karyawan rumah sakit juga akan merasa puas.

Dalam proses akreditasi rumah sakit akan semakin mendengarkan pasien dan keluarga, menghormati hak-hak pasien, dan melibatkan mereka menjadi mitra dalam proses pelayanan. Dalam standar akreditasi disebutkan bahwa rumah sakit memperhatikan kebutuhan klinik pasien pada waktu menunggu atau penundaan untuk pelayanan diagnosis dan pengobatan.

Kesimpulannya akreditasi rumah sakit merupakan suatu proses dimana suatu lembaga, yang independen, melakukan asesmen terhadap rumah sakit. Tujuannya adalah menentukan apakah rumah sakit tersebut memenuhi standar yang dirancang untuk memperbaiki mutu pelayanan dan keselamatan pasien. Standar akreditasi sifatnya berupa suatu persyaratan yang optimal dan dapat dicapai. Standar akreditasi dalam segala aspek tersebut akan tetap bertahan dalam waktu lama jika akreditasi merupakan kebutuhan seluruh karyawan bukan hanya hajat dari manajemen pada saat penilaian akreditasi. Jadi akreditasi menghendaki adanya budaya kerja sesuai standar bukan sekedar lulus dengan selembar sertifikat lulus akreditasi.

dr. Indri Hapsari, Sp.A. M.Sc.