HarianNusa, Mataram – Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Mataram mengajak seluruh lapisan masyarakat di Nusa Tenggara Barat (NTB), untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap Resistensi Antimikroba (AMR).
Resistensi Antimikroba (AMR) adalah kejadian ketika bakteri, virus, jamur dan parasit berubah dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespon terhadap obat-obatan sehingga infeksi semakin sulit diobati dan meningkatkan resiko penyebaran penyakit, memperparah dan menyebabkan kematian.
Kejadian Resistensi Antimikroba (AMR) menjadi salah satu isu kesehatan global yang menjadi concern banyak pihak terutama WHO. Data penelitian terbaru yang diterbitkan jurnal The Lancet di tahun 2022 menyebutkan, bahwa pada tahun 2019 menunjukkan bahwa AMR menyebabkan kematian pada 4,95 juta jiwa, dengan 1,27 juta diantaranya disebabkan langsung oleh AMR.
Kematian akibat AMR bahkan lebih tinggi dari kematian akibat HIV/AIDS dan Malaria. Dan di tahun 2050 mendatang, WHO memprediksi jumlah kematian tersebut naik hingga menjadi 10 juta jiwa per tahun.
"Boleh dikatakan AMR merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap kesehatan dan risiko keamanan kesehatan global saat in silent pandemic yang dapat membunuh dalam keheningan," ungkap Kepala BBPOM Mataram Yosef Dwi Irawan, dalam acara Ngobrol Santai bersama Awak Media di Aula BBPOM Mataram, Rabu (3/7/2024).
Karenanya Yosep menegaskan betapa pentingnya edukasi mengenai AMR guna menjaga kesehatan masyarakat, sekaligus mencegah dampak negatif dari penggunaan antibiotik yang tidak bijaksana.
“Resistensi antimikroba adalah ancaman serius bagi kesehatan global. Kami mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati, dalam penggunaan antibiotik dan selalu mematuhi petunjuk dari tenaga medis,” ungkap Yosef
Yosep menekankan, bahwa masyarakat memiliki peran penting dalam memerangi AMR, dengan cara-cara menggunakan Antibiotik sesuai resep dokter.
“Hindari penggunaan antibiotik tanpa resep dari dokter. Konsultasikan selalu dengan tenaga medis sebelum menggunakan antibiotik. Begitu pula
kalau di apotek, tanyakan cara penggunaan obat langsung kepada apoteker,” tekannya.
Ia menyebutkan, berdasarkan data yang dikeluarkan BBPOM Mataram, dari 15 sarana apotek yang diperiksa terdapat 14 apotek yang menyerahkan antibiotik tanpa resep dokter.
"Ada 5 antibiotik yang dijual bebas terbanyak yakni, Amoxicillin, Cefadroxil, Ciprofloxacin,Cefixcim dan Cotrimoxazole," tuturnya.
Kegiatan jual beli di apotek akan dihentikan, apabila diketahui dalam jumlah besar membebaskan penjualan antibiotik tanpa resep dokter. Dan diberikan sanksi berupa penghentian sementara.
Yosep menegaskan, BBPOM Mataram telah melaksanakan berbagai upaya untuk menangani AMR di NTB, termasuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya dan pencegahan AMR melalui berbagai kegiatan sosialisasi seperti memperketat pengawasan terhadap distribusi dan penggunaan antibiotik di wilayah NTB
"BBPOM Mataram sendiri, secara masif melakukan pengelolaan pengawasan pelayanan kefarmasian, bimbingan teknis advokasi lintas sektor, joint inspection serta pengedukasian terhadap masyarakat," katanya.
Pengendalian AMR dapat lebih digencarkan dengan melakukan kerjasama lintas sektoral. Dengan adanya sinergi antara BBPOM Mataram, pemerintah, tenaga medis dan masyarakat, diharapkan NTB dapat menjadi wilayah yang lebih sehat dan bebas dari ancaman resistensi antimikroba. (HN3)
Ket. Foto:
Kepala BBPOM Mataram, Yosep Dwi Irawan (kanan) saat memaparkan bahaya Resistensi Antimikroba (AMR) pada acara Ngobrol Santai di kantornya. (HarianNusa)