HarianNusa, Lombok Barat – Para warga perbukitan Dusun Duduk, Kecamatan Batulayar, akhirnya angkat bicara melalui kuasa hukum mereka terkait gangguan kebisingan dari warung-warung di Pantai Duduk yang telah berlangsung berbulan-bulan. Mereka menilai narasi yang beredar di media tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya dan mendesak penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran ketertiban umum.
Keluhan warga bukan tanpa dasar. Sejak April 2025, mereka telah menyampaikan protes melalui berbagai jalur, dimulai dari laporan lisan kepada kepala dusun, dua surat resmi kepada kepala desa, hingga dua petisi tertulis yang ditandatangani oleh puluhan warga. Namun, tidak ada solusi konkret yang diambil oleh pihak terkait.
“Ini bukan keluhan satu orang. Kami bicara sebagai satu komunitas,” tegas salah satu warga yang mengungkap kekecewaannya atas pemberitaan yang menyudutkan seolah-olah hanya segelintir pihak yang terganggu.
Musik dangdut dan karaoke keras yang diputar dari pagi hingga larut malam disebut sangat mengganggu kehidupan sehari-hari warga. Suara tersebut merambat hingga ke perbukitan, masuk ke rumah-rumah warga, dan mengganggu waktu istirahat mereka.
Upaya mediasi pun dinilai tidak adil. Dalam mediasi pertama, hanya satu warga yang diundang, sementara puluhan lainnya tidak dilibatkan meskipun turut menandatangani petisi. Bahkan, suasana pertemuan disebut tidak kondusif karena salah satu pemilik warung membawa belasan orang.
“Yang dipermasalahkan bukan soal izin atau keberadaan warung, tapi suara keras yang terus-menerus. Kalau tidak ada kebisingan, maka tak akan ada masalah,” kata seorang warga.
Kondisi semakin memperburuk setelah beredarnya video dari salah satu pemilik warung yang secara terang-terangan merekam dirinya bersama petugas Satpol PP, lalu memutar musik keras dengan speaker diarahkan ke rumah warga di perbukitan. Video itu diunggah ke media sosial sebagai bentuk ejekan terhadap warga yang melaporkan gangguan tersebut.
Terkait hal itu, warga telah menyerahkan video dan bukti unggahan media sosial kepada kuasa hukum mereka, Kantor Law Office Dr. I Gede Sukarmo, SH, MH; DKK, sebagai bagian dari langkah hukum yang sedang ditempuh.
Menanggapi pernyataan pemilik warung yang meragukan suara bisa terdengar dari jarak 1,5 kilometer, warga menyampaikan bahwa secara ilmiah, gelombang suara frekuensi rendah seperti bass memang mampu merambat jauh, terutama saat tidak ada penghalang dan arah angin mendukung.
“Kami bisa melihat jelas warung-warung itu dari rumah kami. Getarannya bahkan terasa. Ini bukan perasaan, ini fakta,” tegas warga lainnya.
Kuasa hukum warga mengecam lambannya penegakan hukum oleh aparat.
“Sudah ada pelanggaran nyata terhadap ketertiban umum. Pasal 503 KUHP sudah cukup jelas. Ini bukan saatnya menunggu mediasi ketiga. Yang dibutuhkan warga adalah tindakan tegas, bukan dialog tak berujung,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa warga tidak menolak usaha atau pariwisata, tetapi ketenangan dan perlindungan hukum harus tetap dijunjung.
“Klien kami berhak atas kehidupan yang tenang. Tidak seharusnya korban justru diminta terus-menerus bernegosiasi dengan pelanggar ketertiban umum,” pungkasnya. (F3)
Ket. Foto:
Ilustrasi kebisingan suara musik keras yang diputar warung sekitar pantai duduk. (Ist)