HarianNusa.com, Mataram – Asgardia merupakan suatu negara yang dideklarasikan oleh Ilmuan asal Rusia, Igor Ashurbeyli. Ia mengklaim negara tersebut berada di ruang angkasa dan memiliki sumber daya yang dapat dimanfaatkan manusia untuk hidup.
Bahkan, Asgardia melalui website resminya membuka pendaftaran bagi setiap orang yang mau menjadi warga negaranya. Ribuan orang dari berbagai negara telah mendaftar menjadi warga negara Asgardia. Bahkan, sebanyak 77 warga Mataram mendaftarkan diri menjadi warga negara Asgardia (data: 9/8 dini hari).
Uniknya, negara tersebut memiliki 13 bulan. Setelah bulan Juni, akan dilanjuti dengan bulan Asgard, kemudian dilanjut dengan Juli hingga Desember.
Sementara saat ini yang tengah viral adalah teori bumi datar (flat earth). Kelompok ini juga memiliki banyak pendukung di belahan dunia. Bahkan diklaim lebih tinggi dari jumlah pendukung Asgardia.
Kaum bumi datar mengklaim bahwa bumi ini berbentuk datar. Mereka menganggap bentuk bumi bulat merupakan kebohongan sains moderen untuk mencekik rakyat melalui pajak yang dibayar dari program fiktif. Contohnya peluncuran satelit.
Mereka mengklaim, ruang angkasa tidak dapat tertembus karena memiliki suatu perisai atau kubah bumi. Bahkan rudal Uni Soviet dan Amerika pun diklaim tidak dapat menembus perisai tersebut. Artinya, tidak ada satu pun orang pernah keluar angkasa. Dengan kata lain, mereka menuduh almarhum Neil Armstrong berbohong.
Kaum bumi datar ini mengklaim ujung dunia ada di Antartika. Suatu benua yang dikelilingi tembok es raksasa. Berbeda dengan peta bumi bulat, pada peta bumi datar, wilayah Antartika seperti cincin yang mengelilingi bumi.
Mereka mengklaim ada kehidupan antah-berantah di bagian luar Antartika yang selama ini dirahasiakan negara-negara berkuasa lewat perjanjian pada 1959 oleh 12 negara agar Antartika dijadikan tempat penelitian perdamaian.
Jika kaum bumi datar benar, maka tentunya kaum Asgardia salah. Begitu pun sebaliknya. Atas kedua teori ini, masyarakat menjadi penasaran apa yang ada di balik Antartika dan apa yang ada di ruang angkasa sana. Yang membuat masyarakat lebih penasaran lagi, bagaimana jika kedua elit kaum ini ngopi bareng sembari menunjukan keabsahan teorinya masing-masing. Pasti akan terlihat seru. Kok bisa ada negara di ruang angkasa, tetapi ada perisai yang menghalang orang untuk tembus ke ruang angkasa.
Ngopi bareng adalah solusi untuk menjawab setiap permasalah ini. Hal itu dibutuhkan akdemisi sebagai wasit dalam mengatur ritme meneguk kopi antara kedua kaum ini. Karena teori keduanya akan berpengaruh di otak masyarakat awam.
Jika akademisi hanya duduk manis di meja kantor tanpa berkontribusi menjawab setiap permasalahan ini, maka otak masyarakat akan semakin teracuni. Lahirnya ademisi berfungsi menenangkan kaum awam yang masih bingung. Sama seperti kebingungan masyarakat atas populernya Kesultanan Majapahit dengan Patih Gaj Ahamada-nya.
Meskipun deretan teori baru di atas merupakan deretan lelucon, tapi menjadi penting lahirnya akademisi mengakhiri pentas komedi tersebut dengan tepuk tangan meriah oleh penonton.
Seorang penulis Indonesia di Amerika, Nosa Normanda tidak menganggap remeh teori baru tersebut. Ia mengetuk hati para akademisi untuk turun tangan dalam memecahkan persoalan tersebut.
“Hinaan-hinaan terhadap kepolosan dan kebodohan orang lain, sudah semestinya dihilangkan, digantikan dengan konsistensi dalam mengajarkan budaya argumen dan pola pikir kritis. Harus lebih banyak buku-buku serta hoax-hoax populer yang dibahas, diklarifikasi, dan didialogkan dalam kerangka yang egaliter. Buktikan kalau Anda ahli bukan karena titel akademik Anda, dengan bicara yang santun dan pantas mengenai hal yang Anda geluti setengah mati dengan keringat, darah, dan uang yang banyak,” ujarnya pada tulisannya.
Nosa tampaknya paham betul bahwa gejala mewabahnya teori hoax di atas lantaran tidak bergeraknya akademisi dalam mencegah penularan virus kebodohan tersebut. Sehingga dengan cepat teori menyesatkan terkontaminasi pada masyarakat.
“Maka mari berterima kasih pada Habib Riziq, Ahok, MUI, Herman Sinung, dan orang-orang yang menantang akal kita dan menunjukkan masalah-masalah sosial di sekitar kita dengan gamblang. Sesungguhnya mereka lebh berarti dari beberapa profesor yang mengejar karir jenjang jabatan akademik semata dengan membuat buku dan paper-paper hanya untuk poin saja–dan tidak bisa dibaca luas karena hukum properti intelektual,” guraunya.
“Buni Yani mungkin berkontribusi lebih banyak untuk menunjukkan masalah dalam Islam Indonesia, daripada banyak akademisi yang membuat Ben Anderson bertanya-tanya beberapa hari sebelum kematiannya, ‘kenapa kajian soal Islam sangat kurang di Indonesia, padahal negeri ini sangat membutuhkannya?’” sambungnya.
Nosa beranggapan, dengan diamnya akademisi, sama saja membiarkan generasi kebal fakta tumbuh beranak-pinak dan menularkan setiap argumen yang tidak dapat dibantahkan dengan fakta sekalipun. Oleh karena itu, dibutuhkan akademisi sebagai teman ngopi kedua kaum di atas. (sat)