
Selandia Baru telah menyelenggarakan pemilihan umum pada tanggal 17 Oktober 2020. Jacinda Ardern keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara yang luar biasa. Tidak kurang dari 49 persen suara dapat diamankan oleh Partai Buruh sehingga mendapatkan 64 kursi dari 120 kursi parlemen. Perolehan suara yang memungkinkan bagi Partai Buruh untuk menjalankan pemerintahan sendiri.
Dalam pemilihan ini, isu Covid-19 dinilai menjadi isu penting yang menentukan hasil dari pemilihan. Karenanya, kemenangan dari Ardern dipandang tidak lepas dari kepemimpinannya yang diperlihatkan dalam merespons pandemi. Respons Ardern dengan kebijakannya yang agresif pada saat pandemi memasuki Negeri Kiwi itu mengundang banyak pujian dari berbagai negara.
Menurut Worldometer Selandia Baru memiliki 1.957 kasus, 1.857 sudah sembuh, dan hanya 25 kasus kematian. Penambahan kasus harian masih fluktuatif, tapi penambahannya relatif sedikit, bahkan bisa sampai di bawah 10 kasus per hari.1 Maka tak heran jika data terakhir dari Deep Knowledge Group pada tanggal 23 Agustus menempatkan Selandia Baru pada posisi kedua sebagai negara paling aman dari Covid-19.2
Di satu sisi, data yang dipaparkan di atas membuat kita memahami kemenangan Ardern sekaligus memahami ungkapan bahwa mereka yang menyelamatkan hidup banyak orang akan menjadi pemenang di hati para pemilih. Sementara di sisi lain, kemenangan Ardern karena keberhasilannya merespons Covid-19 membuat topik tentang kepemimpinan di masa krisis seperti pandemi sekarang ini menjadi menarik untuk dibahas kembali sebagai pelajaran bagi pemimpin di negara lain. Karena itu, dalam artikel ini penulis akan membandingkan kepemimpinan Jokowi dan Ardern.
Jokowi Versus Ardern
Saat Jokowi terpilih menjadi presiden pada tahun 2014, beberapa bulan setelahnya Majalah Time meluncurkan edisi dengan sampul terisi penuh wajah Jokowi. Di samping fotonya tertulis “A New Hope” diikuti tulisan “Indonesian President Joko Widodo is a Force for Democracy.” berwarna putih dengan dengan font lumayan besar. Saat itu Jokowi dianggap sebagai harapan baru bagi demokrasi Indonesia.
Tahun 2019, beberapa bulan setelah terpilih kembali menjadi presiden, The Straits Times Singapura juga menganugerahi Jokowi sebagai Asian of the Year. Fadjroel Rachman menyebut ini sebagai penghargaan yang prestisius sembari menyebut penghargaan lain yang telah diraih Jokowi, seperti top 50 sebagai salah satu muslim paling berpengaruh di tahun 2020 dengan menduduki posisi 13.
Berbagai penghargaan dan pujian yang dialamatkan kepada Jokowi seolah memperlihatkan dirinya memang sosok pemimpin yang selama ini diharapkan oleh bangsa Indonesia. Sampai paruh akhir tahun 2019 relatif tidak ada peristiwa berarti yang membuat dirinya diragukan banyak kalangan. Pendukungnya tetap percaya Jokowi adalah “messiah” yang akan memajukan seluruh Indonesia dengan visi Indonesia-sentris, sementara oposisi tetap sibuk mengangkat isu yang sudah pasti langsung dihadang pendukung setianya.
Pada saat yang sama di Tiongkok ditemukan penyakit baru yang disebabkan oleh virus misterius dan kemudian disebut Covid-19. Namun, bukannya mengambil langkah untuk menghadang virus, Jokowi berniat menyelamatkan sektor pariwisata dengan membuat insentif pariwisata yang bagi banyak pihak merupakan kebijakan blunder saat negara lain sedang berjuang melawan penyakit baru tersebut. Beberapa pejabat publik melalui pernyataannya juga tampak percaya diri Indonesia tidak akan dihampiri Covid-19.
Hingga pada tanggal 2 Maret 2020 Indonesia akhirnya mengumumkan kasus positif Covid-19 pertama. Mulai dari sini keraguan banyak kalangan mengenai kepemimpinannya muncul. Pasalnya berbagai sikap dan kebijakan yang diambil oleh Jokowi dengan terang memperlihatkan Jokowi gagap menangani Covid-19 yang sudah menjadi pandemi di seluruh dunia.
Ben Bland dalam bukunya Man of Contradiction menyatakan celah kepemimpinan Jokowi terlihat pada masa Covid-19. Jokowi tidak berusaha menjawab tantangan pandemi yang ada di hadapannya, tapi merahasiakan informasinya dengan dalih tidak ingin membuat panik dan saat jumlah korban meninggal terus meningkat dia bingung sendiri apa yang harus dilakukan antara mengambil langkah mitigasi atau tetap menghimbau tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Lebih lanjut, Ben Bland menyatakan pemerintahan Jokowi memperlihatkan sifat terburuknya dengan mengabaikan saran-saran dari ahli, tidak mempercayai masyarakat sipil, dan dia juga gagal membuat strategi yang koheren.3 Jokowi juga menempatkan banyak orang militer dan purnawiran dalam penanganan Covid-19, menyiratkan pendekatan keamanan dalam menghadapi pandemi.
Sikap Jokowi tersebut terus berlanjut hingga dia menjelaskan apa yang sebetulnya dia lakukan. Menurutnya pemerintah mencari titik keseimbangan. Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara ekonomi dan kesehatan. Jika selama ini ada anggapan bahwa untuk menghadapi pandemi harus mengorbankan salah satu di antara ekonomi atau kesehatan, Jokowi menginginkan keduanya dapat diselamatkan.
Namun, strategi ini diragukan akan berhasil oleh banyak pihak dan tampaknya keraguan ini benar. Menurut statistik World Health Organization (WHO), Indonesia bahkan menempati posisi kedua di Asia Tenggara dengan total kasus 406.945 kasus dan penambahan perhari mencapai 2.897. Kematian akibat Covid-19 sendiri sudah sampai 13.782. Ini pun dengan testing rate yang jauh dari standar WHO. Sampai saat ini angka kasus Covid-19 di Indonesia terus menanjak dan masyarakat semakin tidak peduli dengan Covid-19.
Dari segi ekonomi, Indonesia juga telah masuk jurang resesi. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menegaskan Indonesia masuk jurang resesi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua tahun 2020 sudah minus 5,32 dan akan diprediksi minus kembali pada kuartal ketiga sekalipun mengalami perbaikan di angka 0,6 hingga 1,7 persen. Artinya, strategi yang ditetapkan Jokowi alih-alih menyelamatkan kesehatan dan ekonomi, malah sebaliknya tidak menyelamatkan keduanya.
Berbeda dengan Jokowi yang menganggap Covid-19 bukan masalah besar dan cenderung mengabaikan saran para ahli, Ardern tampak memperlihatkan keseriusan sejak pandemi Covid-19 masuk ke negaranya. Pada 28 Februari 2020 Selandia Baru pertama kali mendapatkan kasus Covid-19. Tak lama setelah itu, tepatnya tanggal 14 Maret Perdana Menteri Ardern mengumumkan pembatasan perbatasan, isolasi wajib bagi mereka yang masuk ke Selandia Baru, memikirkan dukungan ekonomi dan kebijakan untuk mengatur pertemuan massal.
Lebih lengkap mengenai kepemimpinan Ardern dalam menghadapi pandemi, Suze Wilson dalam Pandemic Leadership: Lessons from New Zealand’s Approach to Covid menjelaskan kerangka (framework) yang menjadi perhatian Ardern, yaitu: 1) membiarkan ahli yang memimpin; 2) memobilisasi usaha secara kolektif; 3) wawancara dengan banyak ahli.4
Karena pandemi ini merupakan masalah kolektif yang membutuhkan pelibatan masyarakat, maka melawannya bergantung pada kepemimpinan seorang pemimpin. Apakah dia dapat meyakinkan masyarakat untuk bersatu dan menjadikan pandemi sebagai masalah bersama atau tidak. Dalam hal ini, Ardern melakukan branding untuk melawan Covid-19 dengan slogan ‘Unite Against Covid-19’ setelah mendengarkan nasihat para ahli. Slogan ini dipandang berhasil menyatukan seluruh masyarakat. Hal ini didukung dengan kepercayaan rakyat pada Ardern sehingga aksi kolektif melawan Covid-19 menjadi mungkin dilakukan.
Dalam penangan Covid-19, Selandia Baru sangat mengedepankan saran-saran, fakta, dan bukti serta keinginan untuk mendengarkan para ahli dalam pengambilan keputusan. Artinya setiap kebijakan yang akan dibuat selalu meminta saran dari ahli yang relevan agar kebijakan tersebut efektif. Namun, ini mensyaratkan pemimpin bersedia dipimpin oleh ahli. Menurut Wilson, pemimpin yang bersedia dipimpin oleh ahli akan menyediakan platform bagi terbangunnya rasa saling percaya.
Selain bersedia untuk dipimpin oleh para ahli, Ardern juga melakukan usaha mobilisasi secara kolektif. Ini dilakukan melalui berbagai media dengan melakukan edukasi terhadap publik tentang Covid-19. Misalnya, Ardern melakukan siaran langsung di Facebook dengan Menteri Kesehatan David Clark hanya untuk membahas pentingnya membasuh tangan, apa yang dimaksud pembatasan sosial, bagaimana mencari pertolongan, bagaimana menghindari panic buying dan sebagainya. Pesan-pesan semacam ini terus disampaikan dan dilakukan dengan komunikasi yang lemah lembut dan penuh empati ketika menyampaikan arahan.
Sejak Covid-19 merebak di Selandia Baru, Ardern banyak melakukan wawancara dengan banyak ahli dari berbagai disiplin dan praktisi berbagai bidang. Ini karena Ardern sadar betul bahwa Covid-19 akan membawa dampak luas di segala lini kehidupan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Hal inilah yang membuat Ardern secara aktif mewancarai para ahli, termasuk mewancarai para psikolog. Ini dilakukan untuk memperluas pengetahuan dan keahlian serta untuk mengatasi stress yang mungkin saja dialami oleh rakyatnya selama pandemi.
Belajar dari New Zealand
Tidak diragukan lagi, memimpin pada masa pandemi bukanlah hal mudah. Kualitas kepemimpinan seorang pemimpin betul-betul diuji saat pandemi. Banyak pemimpin yang kemudian terlihat keburukan kualitas kepemimpinannya saat menghadapi krisis seperti pandemi. Indonesia barangkali dapat dimasukkan ke dalam salah satu daftar negara dengan kepemimpinan yang buruk dalam menghadapi pandemi.
Jokowi sebagai presiden Indonesia tampak gamang sejak awal pandemi. Dimulai dengan sikap denial dan selalu mengabarkan optimisme seolah semuanya baik-baik saja ternyata berbuah kerugian di akhir. Dengan sikap ini Jokowi gagal membangun persatuan untuk menghadapi Covid-19 karena sejak awal dia tidak menuntun rakyat untuk melihat Covid-19 sebagai musuh bersama.
Dengan gagal mengidentifikasi musuh dan membuat rakyat bersatu melawannya, maka Jokowi juga kehilangan kesempatan untuk melakukan usaha mobilisasi kolektif. Karenanya tak heran jika edukasi yang dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai media juga tidak mampu menahan rakyat untuk melakukan kegiatan yang berpotensi menularkan Covid-19.
Keadaan ini kemudian diperparah pula oleh sikap pemerintah yang cenderung anti sains dengan mengesampingkan pendapat para ahli. Bahkan beberapa kali pejabat publik mengeluarkan pernyataan yang justru mendegradasi kepercayaan terhadap para ahli, terutama tenaga kesehatan. Sementara mereka yang memiliki keahlian relevan, tapi kritis dengan langkah pemerintah menghadapi pandemi justru mengalami upaya pembungkaman.
Jokowi tampaknya butuh belajar dari kepemimpinan pandemi Ardern agar pandemi yang belum juga kelihatan puncaknya di Indonesia bisa segera mereda. Tapi kalau boleh berandai-andai, jika pemilihan presiden dilakukan di masa pandemi ini, apakah Jokowi akan kembali terpilih seperti Ardern yang dipilih karena keberhasilannya melawan pandemi? Sepertinya tidak, kemenangannya tahun 2019 saja banyak yang meragukan.
Pahrirreza
*Mahasiswa Rantau Lombok
*Pascasarjana Ilmu Politik, Comparative Politics Study, Universitas Indonesia
Referensi
1. Worldometer. Total Coronavirus Cases in New Zealand. Diakses Oktober 25, 2020. https://www.worldometers.info/
2. Deep Knowledge Group. COVID-19 Regional Safety Assessment 250 Countries, Regions & Territories. Diakses Oktober 25, 2020. https://www.dkv.global/
3. Bland B. Man of Contradiction. Penguin Books; 2020. doi:10.4324/9780429495052-14
4. Wilson S. Pandemic leadership: Lessons from New Zealand’s approach to COVID-19. Leadership. 2020;16(3):279–293. doi:10.1177/1742715020929151