Gubernur Nusa Tenggara Barat memutuskan untuk melakukan moratorium pemberian izin keluar kayu dari NTB. Keputusan tersebut disepakati dalam rapat terbatas bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) NTB pada tanggal 24 Oktober 2020. Keputusan ini perlu diambil mengingat masih maraknya illegal logging dan perambahan hutan di wilayah NTB. Dalam implementasinya, penerbitan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) kayu akan distop dan dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB akan memetakan daerah-daerah mana yang boleh dan yang tidak boleh ditanami jagung.
Menurut data yang dimiliki Dinas LHK Provinsi NTB, luas kawasan hutan yang kritis mengalami peningkatan hampir dua kali lipat pada periode 2013-2019. Pada tahun 2013 baru mencapai 141.376 hektare dan pada tahun 2019 telah menembus angka 280.941 hektare. Adapun lahan kritis di luar kawasan hutan pada tahun 2013 mencapai 437.270 hektare dan pada tahun 2019 telah mencapai 577.650 hektare. Dengan demikian, laju peningkatan lahan kritis di kawasan hutan lebih cepat daripada di luar kawasan hutan.
Di sisi lain, Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi NTB mencatat peningkatan luas panen jagung pada periode 2013-2018. Pada tahun 2013 luas panen jagung mencapai 110.273 hektare dan meningkat tajam menjadi 326.377 hektare pada tahun 2018. Peningkatan luas panen tersebut tentunya turut berperan dalam tumbuhnya ekonomi NTB beberapa tahun terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) NTB mencatat, selama periode 2013-2019, Subsektor Tanaman Pangan mampu tumbuh cukup stabil dengan kontribusi mencapai sekitar 10 persen dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi NTB.
Dua data yang tersaji tersebut menggambarkan kontradiksi dalam pembangunan ekonomi daerah di NTB. Di satu sisi, patut disyukuri pertumbuhan ekonomi NTB yang relatif stabil didukung oleh kinerja sektor pertanian yang menggembirakan. Di sisi lain, kerusakan lingkungan baik di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan, tentunya menjadi masalah baru yang mengancam keberlangsungan pembangunan dalam jangka panjang. Generasi saat ini memiliki tanggung jawab moral untuk mewariskan kelestarian alam untuk digunakan oleh generasi selanjutnya dalam membangun bumi gora di masa mendatang. Oleh karena itu, menjadi tanggunjawab semua pihak untuk membangun NTB tanpa merusak lingkungan.
Pola pemanfaatan alam untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menyisakan kerusakan lingkungan merupakan konsep ekonomi lama yang sudah ditinggalkan. Secara global, masyarakat dunia sudah memandang aspek keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang menjadi fundamental dalam pelaksanaan pembangunan. Pada tahun 2015, telah disepakati oleh 193 negara untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDG’s) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Sebanyak 17 tujuan dengan 169 capaian yang terukur, dengan tenggat waktu yang telah ditentukan, telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai agenda pembangunan dunia untuk kemaslahatan manusia dan bumi.
Secara umum, SDG’s berupaya menyeimbangkan tiga dimensi pembangunan berkelanjutan yaitu dimensi lingkungan, dimensi sosial, dan dimensi ekonomi. Pembangunan tidak hanya ditujukan untuk menciptakan kemajuan ekonomi, tetapi juga mewujudkan kehidupan sosial yang adil dan bermartabat serta menjaga kelestarian lingkungan. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia berkomitmen untuk turut serta mewujudkan SDG’s. Provinsi NTB sebagai bagian dari Indonesia tentunya tidak ingin ketinggalan dalam agenda global tersebut.
Dalam kaitan keseimbangan antara dimensi ekonomi dan dimensi lingkungan, setidaknya tertuang dalam tujuan SDG’s kedelapan, keempatbelas, dan kelimabelas. Tujuan ke delapan yaitu mewujudkan pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi. Tujuan keempat belas yaitu menjaga kelestarian ekosistem laut dan tujuan kelima belas yaitu menjaga kelestarian ekosistem darat. Merujuk pada tiga tujuan tersebut, terangkum menjadi tujuan gabungan yaitu penyediaan pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi harus menjaga kelestarian ekosistem laut dan ekosistem darat.
Isu ekonomi ramah lingkungan sebenarnya telah muncul sejak lama namun dirumuskan lebih komprehensif dalam SDG’s. Salah satu konsep yang sudah cukup lama dikenal adalah konsep Green Economy. Menurut United Nations Environmnet Programme (UNEP), Green Economy merupakan sistem yang memuat semua aktivitas perekonomian yang menghasilkan peningkatan kualitas hidup manusia untuk jangka panjang, tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang akibat munculnya risiko terkait dampak lingkungan dan keterbatasan ekologis. Aspek lingkungan dan ekologis meliputi perlindungan terhadap sumber daya alam, persoalan pencemaran lingkungan, perubahan iklim, keanekaragaman hayati, pengelolaan sampah serta pemanfaatan sumber daya energi.
Isu ekonomi ramah lingkungan terus mengalami perkembangan dan spesialisasi. Dalam beberapa tahun terakhir dikenal konsep yang disebut Blue Economy. Menurut World Bank, Blue Economy adalah pemanfaatan berkelanjutan sumber daya laut untuk pertumbuhan ekonomi , peningkatan lapangan kerja, dan kelestarian ekosistem laut. Blue Economy meliputi banyak kegiatan termasuk perikanan, pariwisata, transportasi maritim, energi terbarukan, perubahan iklim, dan penanganan limbah. Strategi Green Economy cenderung berfokus pada sektor energi, transportasi, pertanian, dan kehutanan. Sedangkan Blue Economy berfokus pada sektor perikanan, sumber daya kelautan, dan wilayah pesisir.
Tentunya pembahasan dan rencana implementasi tentang Green Economy dan Blue Economy bukan hal baru di Provinsi NTB. Ikhtiar untuk memperbaiki kondisi hutan di NTB merupakan salah satu implementasi Green Economy. Hutan yang kembali lestari tentu memberikan manfaat bagi berbagai aspek termasuk ekonomi. Hutan yang lestari tentunya tidak hanya menguntungkan bagi ekonomi saat ini, tetapi juga ekonomi masa depan. Pembangunan kawasan pesisir pantai selatan Lombok menjadi kawasan ekonomi khusus di sektor pariwisata seperti KEK Mandalika, merupakan salah satu implementasi dari Blue Economy.
Mewujudkan harmoni antara ‘ekonomi tumbuh’ dan ‘lingkungan lestari’ bukan pekerjaan yang mudah tetapi sangat mungkin dilakukan. Kondisi nyata yang terjadi di NTB akhir-akhir ini menjadi pelajaran bahwa ekonomi ramah lingkungan tidak terjadi by accident atau datang dengan sendirinya. Akan tetapi, ekonomi ramah lingkungan akan hadir by design atau harus direncanakan dengan matang. Pemerintah tentunya tidak bisa sendirian menghadirkan ekonomi ramah lingkungan. Dukungan dari akademisi, pelaku usaha dan masyarakat pada umumnya mutlak diperlukan.
Oleh karena itu, pemerintah perlu merumuskan dan menyampaikan langkah-langkah strategis yang ditempuh untuk menghadirkan harmoni ‘ekonomi tumbuh’ dan ‘lingkungan lestari’. Kalangan akademisi di NTB perlu memperbanyak kajian terkait implementasi Green Economy dan Blue Economy serta kaitannya dalam peningkatan pendapatan masyarakat. Para pelaku usaha dapat berinovasi menghasilan produk yang ramah lingkungan dan mendatangkan profit usaha yang lebih baik. Tentunya masyarakat bumi gora perlu meningkatkan literasi tentang ekonomi ramah lingkungan sehingga dalam aktivitas ekonominya tidak hanya mengutamakan keuntungan ekonomi jangka pendek. (*)
Tulisan Opini dari:
Muhammad Zainuri, M.Stat
Statistisi Muda BPS Provinsi NTB