Baru saja ramadhan usai. Kali ini, almanak berpuasa menggenapi 30 hari penuh, dilaksanakan masih kitaran pada masa pandemi Covid-19 sejak setahun silam. Ada banyak ragam puspa ritual yang ada di dalam ramadhan. Pelaksanaannya disesuaikan dengan protokol kesehatan, demi mengantisipasi dampak sebaran wabah. Mulai dari tarawihan, sahur, menadaburi alqur’an, peduli kemanusiaan, bersih-bersih tempat tinggal hingga bersungguh-sungguh meraih allail alqadar. Kini dimensi suasana itu sudah terlalui waktu. Senja ramadhan telah berlampau. Lazuardi syawal mengorbit cahaya kehangatan di hari kemenangan: berlebaran.
Berlebaran bagi segenap yang merayakannya merupakan hari raya kemenangan, Hari Raya Idul Fitri. Diantara esensinya menang melawan hawa nafsu. Menjalankan perintah berpuasa serta patuh terhadap larangan yang membatalkan kaifiat puasa. Dari sebelum terbitnya fajar yang ditandai dengan imsak hingga terbenamnya matahari dengan tabuhan beduq maghrib kumandang adzan. Lepas dari puasa beranjak syawal, bulan peningkatan. Bulan ranah silaturahmi, ziarah makam dan saling bermaafan. Kendati bagi sebagian kalangan, ziarah makam dan saling bermaafan dilaksanakan pada Bulan Sya’ban.
Syawal sebagai bulan yang disunnahkan pula untuk berpuasa enam hari lamanya, sebagai pelengkap ganjaran seperti berpuasa setahun waktunya. Setelahnya, banyak pula yang merayakan lebaran ketupat. Tradisi berlebaran sebagai rasa syukur telah bisa melengkapi puasa ramadhan. Pun di Pulau Lombok, tradisi lebaran ketupat atau disebut dengan Lebaran Topat, dengan berbagai atraksi unik. Tahun ini, agaknya perayaan tersebut tak bisa sepenuhnya dilaksanakan, lantaran pandemi masih menjangkiti seantero nusantara, bahkan dunia.
Wabah yang membatasi ruang gerak antarmanusia, wabah yang nyata meskipun wujudnya tak dapat dilihat langsung mata. Wabah yang mesti dihindari, sehingga nyaris semua hal dilakukan pembatasan dan pencegahan. Hal tersebut dilakukan agar potensi menyebarnya virus tak lagi banyak korban. Alakulli hal mudik. Tradisi mudik pun kemudian dibatasi bahkan dilarang. Tradisi yang telah menahun sebagai tradisi silaturahmi kepada sanak keluarga dan handai taulan. Dengan mengunjungi (biasanya kepada yang lebih usianya), bertegur sapa, mencicipi kue lebaran, berbagi amwal dan sebagainya. Merekatkan psikis kekerabatan dalam nuansa hangat kekeluargaan.
Silaturahmi Virtual
Mudik dalam perspektif lainnya dapat menggerakkan pula sendi perekonomian desa-kota (rural urban), baik dari sisi moda transportasi, tekstil, kulineran dan kitarannya. Namun semua itu, sekali lagi tak dapat dilakukan, karena Covid -19 masih melanda. Memilih mencegah keburukan daripada mendatangkan kebaikan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara resmi telah memutuskan pelarangan mudik dan pembatasan keramaian untuk kita patuhi bersama. Dalam dalil fikih pun dinyatakan semacam mendahulukan pencegahan mudharat daripada mendatangkan maslahat yang lebih utama (pars prototo).
Tentu saja, nyawa manusia lebih berharga dari segalanya. Menghindari penyakit lebih baik daripada mendatangkan bahagia terlebih dahulu, hingga wabah pandemi diumumkan berakhir dan keadaan normal kembali. Solusinya, pada saat syawalan ada pula masyarakat (terutama di perkotaan) yang bersilaturahmi secara virtual. Mengucapkan selamat hari raya, bertegur sapa haru bahagia dan saling memafkan melalui kanal digital audiovisual. Kendati memang tak seseru pertemuan langsung, tetapi cukup memberikan tools pada masa pandemi, pada hari kemenangan idul fitri, bahkan bisa untuk banyak anggota keluarga.
Sedangkan masyarakat lainnya, bersilaturahmi dilakukan manual dengan pembatasan-pembatasan yang tetap menerapkan Prokes Covid-19. Ada pula yang cukup saling menelepon dan saling mengabari. Kesemuanya, sebagai resonansi dari ramadhan menuju lazuardi idul fitri. Keheningan sekaligus gemuruh ramadhan yang meresonansi, bak lazuardi cerah menangkup haru perayaan syawalan idul fitri.
Serangkaian perihal tersebut, merupakan fenomena baru berlebaran pada masa pandemi. Setidaknya terjadi peralihan tradisi tuman (kendati sementara) yang disesuaikan dengan keadaan. Pertama, menjaga jarak shaf sholat, dahulu belum pernah tuman dengan kondisi demikian. Kini sudah dibiasakan, samping kiri kanan berjarak tetapi tetap lurus. Kedua, silaturahmi dengan tambahan hand sanitizer dan masker yang harus dibawa, ketika berkunjung kemana saja. Cipika-cipiki dibatasi, sikap menjura dengan mengatupkan kedua telapak tangan, banyak mendominasi cara bersalaman masa pandemi atau dengan kepalan yang diperhadapkan sebisanya, tanpa mengurangi kehangatan relasi persaudaraan.
Ketiga, membatasi keramaian atau menghindari kerumunan. Mungkin ini yang rada sukar, saat kerap menyaksikan pada ziarah makam nyaris tak ada pengaturan hilir mudik, tetapi masing-masing fokus pada tujuan luhur berziarah. Tampak pula di pusat perbelanjaan, untuk yang terakhir relatif menerapkan Prokes Covid-19. Konsumen menjajal dari mulai perabotan, kosmetika hingga pakaian sebagai cara mengekspresikan kebahagiaan. Pada sisi lain keharuan pun tak terbantahkan. Bagaimana ketika amil zakat tempat ibadah membagikan zakat fitrah kepada yang berhak menerimanya. Perasaan haru, lega, dan bahagia terpatri, baik yang menerimanya maupun petugas amilnya. Fenomena yang melatih sanubari kita, untuk senantiasa menyadari bahwa ada kalangan yang perlu tetap mendapatkan atensi dari peluh penatnya kehidupan. Bagi yang berkecukupan, bahkan berlebih, bisa berempati pada kaum lemah dan marjinal.
Dari itu semua, ibroh yang bisa terbetik adalah kita memasuki era baru menghadapi pandemi. Situasi memang sedang “tak normal” atau kerap disebut sebagai “normal baru”. Semoga lebaran pada masa pandemi, esensi beridul fitri tetap terbenak pada sanubari untuk saling menghargai sesama manusia. Dengan keterbatasan dan demi kesehatan kita semua, kita sambut lazuardi idul fitri dengan lega, haru, dan bahagia. Dari dekat maupun dari jauh, langsung maupun tak langsung, live maupun relai: selamat berlebaran idul fitri. Maafkan lahir batin, menjura.
Mujaddid Muhas, M.A.
*Penulis adalah Kepala Bagian Humas dan Protokol Pemda Kabupaten Lombok Utara