Deklarasi Stop Perkawinan Anak: Ikhtiar Cegah Perkawinan Anak di NTB

0
2183
Ratusan pelajar hadiri Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di Mataram. (sat/hariannusa.com)

HarianNusa.com, Mataram – Ratusan pelajar di Kota Mataram menghadiri Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak. Deklarasi tersebut digelar di Taman Budaya, Kota Mataram, Minggu (10/12).

Acara tersebut digelar untuk memberikan pemahaman terhadap masyarakat terkait dampak negatif pernikahan anak. Acara tersebut dihadiri Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PP-PA), Dra Lenny Nurhayanti Rosalin.

Hadir juga dalam acara tersebut Wakil Gubernur NTB, H. Muh Amin. Dalam sambutannya Amin mengatakan mendukung usia minimal perkawinan dinaikan menjadi 21 tahun. Hal tersebut untuk mengurangi dampak yang timbul akibat pernikahan di bawah umur.

“Sangat penting meningkatkan usia perkawinan menjadi 21 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Itu merupakan bentuk menurunkan angka pernikahan anak,” ujarnya.

Amin juga menjabarkan persentase pernikahan anak di NTB. Menurut data BPS, persentase pernikahan anak di tahun 2013 sebesar 48.89 persen, kemudian di tahun 2014 naik menjadi 51,88 persen. Sedangkan tahun 2015 menurun menjadi 24.90 persen. Relatif anak-anak yang menikah dalam usia belasan tahun. Untuk itu ia berharap gerakan stop perkawinan anak menjadi jarum penyusut jumlah perkawinan anak.

Ratusan pelajar hadiri Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di Mataram. (sat/hariannusa.com)

“Tentu dalam gerakan ini yang kita lakukan bersama dapat membawa perubahan. NTB pada 2035 merupakan daerah yang memiliki target usia produktif lebih tinggi, sehingga harus diminimalisir perkawinan dini,” pungkasnya.

Deklarasi tersebut merupakan kerjasama Kementerian PP-PA dengan Pemprov NTB, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB dan LSM.

Sementara Lenny Nurhayanti mengatakan perkawinan anak merupakan bentuk pelanggaran hak anak. Sementara hak anak merupakan hak asasi manusia (HAM) yang menjadi bagian dari 10 hak dasar manusia yang diakui dunia internasional dan diratifikasi dalam hukum positif di Indonesia.

“Perkawinan anak merupakan bentuk pelanggaran hak anak. Jika melanggar hak anak berarti juga melanggar HAM, karena hak anak bagian dari HAM,” pungkasnya.

Lebih dalam Lenny mengatakan Indonesia telah darurat perkawinan anak. 17 persen anak perempuan kawin di bawah usia 18 tahun, yang artinya satu dari tujuh anak di Indonesia kawin di bawah usia 18 tahun.

“Sementara di NTB menurut data BPS pada 2016, sebanyak 25,4 persen menikah di bawah usia 18 tahun. Itu artinya satu dari empat anak perempuan di NTB menikah di bawah usia 18 tahun,” paparnya.

Acara tersebut semakin meriah dengan dilakukan deklarasi pencegahan perkawinan anak oleh tokoh lintas agama, tokoh masyarakat adat dan tokoh wanita di NTB. Dalam deklarasi tersebut terdapat delapan butir substansi sebagai ikhtiar pencegahan perkawinan anak.

Pertama, deklarasi tersebut meningkatkan perkawinan anak menjadi 21 tahun, kemudian semua tokoh melawan praktik pernikahan anak, menghadirkan buku khotbah pencegahan perkawinan anak, mewajibkan anak selesaikan wajib belajar 12 tahun, pengutan lembaga adat sebagai upaya pencegah perkawinan anak, kewajiban orang tua cegah perkawinan anak, tuntut kebijakan dan keberpihakan kepala daerah dalam pencegahan perkawinan anak dan menuntut revisi undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya pada batas minimal usia perkawinan.

Sejak awal, acara dibuka dengan pawai stop perkawinan anak. Kemudian memasuki acara, semakin khusuk dengan mendengar testimoni anak korban perkawinan dini dan juga orang tua anak yang menjadi korban perkawinan dini.

Acara kemudian diakhiri dengan menandatangani petisi bersama stop perkawinan anak. Ratusan anak yang menghadiri acara tersebut antusias mengikuti setiap kegiatan dalam acara. (sat)