Oleh: Ampel (Mahasiswa)
Sebenarnya menggugat seseorang karena melakukan pencemaran nama baik “penghinaan” bukanlah sesuatu yang dilarang karena notabene adalah hak setiap orang untuk melakukan upaya hukum ketika merasa dihina. Namun hal itu berpotensi membelenggu kebebasan berekspresi dan memiliki kecenderungan munculnya anggapan bahwa kritik adalah penghinaan. Yang sering terjadi kemudian, orang yang dikritik menganggapnya sebagai penghinaan dan pelecehan terhadap dirinya. Dalam catatan sejarah, tren penetapan tersangka terkait dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat mengalami peningkatan pasca Pilpres 2014 silam. Sasarannya adalah para aktivis, yaitu aktivis anti-korupsi, aktivis lingkungan dan jurnalis serta pemuda dan mahasiswa yang mengkritik instansi pemerintahan.
Sejak rezim orde baru runtuh hingga saat reformasi, masih banyak instansi pemerintahan temasuk kepolisian yang takut dengan pergerakan pemuda-mahasiswa. Mereka mungkin menganggap kalau manuver “dinamika kritis” kaum muda menjadi ancaman bagi kelangsungan hidupnya, karena sering sekali mendapatkan kritikan dan penekanan bertubi-tubi yang merupakan bagian dari checks and blances dalam pemerintahan yang baik. Sederhanya, jika semua saluran aspirasi ditutup, apa yang mesti dilakukan pemuda-mahasiswa jika bukan demonstrasi. Mengapa kita selalu curiga dengan mahasiswa yang berdemonstrasi, namun kita tidak pernah menaruh curiga pada polisi sebagai pelindung masyarakat yang menjadi sangat politis dalam melindungi kepentingan tertentu yang terejawantahkan dengan tindakan pembubaran dan pengintrogasian yang dilakukan Kepolisisan Daerah NTB kepada para demonstran pada hari Kamis lalu.
Polda NTB seharusnya mampu menegakkan hukum yang seadil-adilnya tanpa menafikan kewajibannya dalam menjalankan fungsi negara untuk melindungi kepentingan umum setiap warga negara menjadi sangat ambivalen (bahkan nihil dari visi terwujudnya pelayanan Kamtibmas yang unggul dalam pelayanan prima, terjalinnya kemitraan Polri Polda NTB dengan masyarakat, penegakan hukum yang efektif serta sinergi polisional yang proaktif guna mendukung terciptanya NTB yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong dalam rangka memantapkan keamanan NTB). Pemuda-mahasiswa yang menyampaikan keluh kesahnya terkait dugaan korupsi lewat suatu gerakan yang termanifestasikan lewat sebuah aksi massa dari GEMPAK NTB (Gerakan Mahasiswa-Pemuda Anti Korupsi Nusa Tenggara Barat) mendapatkan respon yang mematikan dari pihak kepolisian dengan dibatasinya ruang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Aksi massa yang disampaikan dengan santun dan damai berusaha di kerangkeng dengan pernyataan, demonstrasi tersebut belum mendapatkan konfirmasi dari pihak kepolisisan. Sedangkan, dalam demo tidak memerlukan izin dari polisi, namun pemuda-mahasiswa yang ingin turun menyuarakan aspirasi di jalanan berkewajiban melayangkan surat pemberitahuan kepada kepolisian agar bisa diketahui dan dikawal. Logikanya, apabila menggunakan surat ijin maka secara otomatis checks and blances serta asa-asas good governance telah di-ninabobo-kan dan sama halnya mengebiri prinsip kedaulatan rakyat yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebagai dasar partisipasi warga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, merupakan penghianatan atas jaminan hak dalam UU HAM dan berbagai instrumen internasional yang melindungi hak berpartisipasi dalam pemerintahan dan pembangunan, menyampaikan masukan dan usulan.
Asumsi lain dari Polda NTB bahwa pembatasan berjalannya demonstari itu karena adanya indikasi terjadinya penghinaan kepada Kapolda dengan didapatkannya pamflet yang mencoret-coret foto Brigjen Pol Drs Firli, M.Si dalam demonstrasi. Korlap Aksi (Al-Mu’min), Kordum Aksi (Miftahul Mumma) mengakui pencoretan foto tersebut merupakan bentuk rasa kekecewaan karena tidak ditanggapinya kasus dugaan korupsi fiberglass dengan serius dan tidak dilakukakannya penyelidikan serta penyidikan yang sistematis oleh Polda NTB, terbukti dari masih santainya Hj. Ferra Amelia tanpa ada pemanggilan dari pihak kepolisian terkait dugaan korupsi tersebut. Malah yang patologi dalam penegakan hukum dan keadilan adalah ditetapkannya korlap dan kordum sebagai tersangka dalam demo, padahal aksi massa tersebut telah diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang berbentuk kritikan, bukan penghinaan terhadap penguasa (Hj. Ferra Amelia dan Brigjen Drs Pol Firli, M.Si).
Selanjutnya, filosofi terkait pasal-pasal penghinaan ini menjadi relevan untuk diperbincangkan. Dengan memasukkan Pasal 310 di dalam rumusan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), terlihat benar bahwa tuduhan-tuduhan pencemaran nama baik tersebut sangat rentan dipakai untuk membungkam pemuda-mahasiswa yang kritis terhadap institusi negara (Polda NTB), padahal sebagai warga negara para pengkritik ini punya kepentingan untuk memperbaiki kinerja institusi tersebut.
Memang KUHP memberi kemungkinan terkait pelaporan kasus di atas atas dasar klasifikasi tindak pidana lain, misalnya berkenaan dengan penyerangan terhadap martabat Kapolda NTB (mengingat institusi ini bertanggung jawab langsung kepada presiden) dan kejahatan terhadap ketertiban umum (permusuhan, kebencian, penghinaan terhadap pemerintah) sebagaimana dimuat dalam Bab II dan V (Buku II KUHP). Namun, secara historis Pasal 310 KUHP pernah dijadikan instrumen penekan bagi pengkritik pemerintah dari era kolonial sampai dengan orde baru. Maka, muncul pertanyaan mendasar di kalangan kaum muda, apakah Polda NTB di bawah kepemimpinan Brigjen Drs Pol Firli, M.Si ingin menggunakan hukum untuk melanggengkan kekuasaan atau agar tidak menganggu citranya untuk memuluskan harapannya untuk naik pangkat?
Tujuan utama dari penggunaan undang-undang terkait dengan pencemaran nama baik adalah melindungi reputasi. Akan tetapi, berbagai praktek yang terjadi di sejumlah negara menunjukkan terjadinya penyalahgunaan undang-undang pencemaran nama baik, untuk membungkam masyarakat melakukan debat terbuka dan meredam kritik yang sah terhadap kesalahan yang dilakukan instansi pemerintahan. Penetapan sebagai tersangka dan ancaman sanksi pidana, seperti hukuman penjara, memberi dampak yang menghambat kebebasan berekspresi bagi warga negara. Salah satu ancaman yang dihadapi oleh aktivis pemuda-mahasiswa adalah jeratan hukum yang diterapkan dengan menggunakan ketentuan hukum pidana dalam Pasal 310 KUHP. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pasal itu adalah alat warisan penjajah yang digunakan untuk memidana rakyat jajahan dengan cara yang sangat mudah, yaitu tuduhan menghina penguasa, sehingga rakyat dapat ditakut-takuti, ditundukkan, dan diatur hidupnya untuk tidak melawan penguasa. Pasal-pasal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena sangat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik ataukah penghinaan sebab di antara keduanya sungguh jauh berbeda namun mengakibatkan perasaan subyektif dikarenakan tercorengnya martabat seoseorang termasuk Kapolda NTB sekalipun. Pasal-pasal tersebut menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi karena selalu digunakan aparat hukum terhadap tindakan unjuk rasa di lapangan dan tidak menjamin adanya kepastian hukum, secara tidak proporsional menghalang-halangi kemerdekaan untuk menyatakan pikiran, sikap dan pendapat sehingga bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Ketentuan penghinaan dalam pasal 310 KUHP bersifat sangat lentur sehingga dapat digunakan untuk melindungi kepentingan pejabat dengan cara melanggar kebebasan berpendapat dan menyatkan pikiran serta keyakinan dan telah sering digunakan untuk melanggar hak konstitusional warga negara dalam menyatakan pendapat, menyampaikan informasi, memperjuangkan hak kolektif, serta berpartisipasi dalam pemerintahan. Melihat hal spekulan yang dilakukan Instansi penegak hukum, maka pengertian pencemaran nama baik atau penghinaan sudah waktunya dibatasi dengan pernyataan tentang kondisi atau perbuatan seseorang untuk diketahui umum, padahal yang bersangkutan (Kapolda NTB) tidak dalam kondisi dimaksud atau tidak pernah melakukan perbuatan dimaksud. Dengan pengertian tersebut, masih terdapat perlindungan terhadap martabat seseorang. Hal ini akan menjaga upaya kriminalisasi kebebasan berpendapat dan berpartisipasi dalam pemerintahan melalui penyampaian kritik atau laporan dengan maksud agar kritik itu dihentikan atau laporan itu tidak ditindaklanjuti karena diserang dengan masalah baru yang lebih mensubordinatkan kepentingan umum (Pemuda-Mahasiswa, Gempak NTB/Bung Loyan-Miftahul Muma).
Peran pemuda-mahasiswa tidak hanya untuk kerja atau kuliah semata, karena pemuda-mahasiswa merupakan agen perubahan, pengontrol sosial dan penerus vital perjuangan para faunding father. Maka dari itu hentikan segala usaha melawan pergerakan pemuda-mahasiswa baik itu secara persusif, represif maupun dengan menspekulasi perisai hukum itu sendiri. Jika tidak, maka benar apa yang dikatakan oleh Komisaris Jenderal Polri Nanan Sukarna bahwa, “Masih banyak polisi korup dan brengsek.” Maka dari itu, Kami Pemuda-Mahasiswa Indonesia akan terus menjadi oposan terhadap segala macam bentuk penindasan terhadap kemerdekaan dalam kehidupan idiil yang mengutamakan kedaulatan rakyat.