Connect with us

Hukum

Didampingi Kuasa Hukum, Pemilik Sah Bongkar Pagar Bumbangku Beach Cottage

Published

on

HarianNusa, Lombok Tengah – Sengketa lahan di kawasan wisata Pantai Bumbangku, Dusun Bumbangku, Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, kembali memanas. Pada Rabu, 9 April 2025, Nurdin Dino, SH., MH., kuasa hukum Sahnun Ayitna Dewi (Bu Nunung), memimpin langsung pembongkaran pagar yang didirikan oleh pihak yang mengklaim sebagai pemilik lahan.

Pembongkaran pagar tersebut dilakukan setelah tim hukum Bu Nunung mengirimkan surat pemberitahuan resmi kepada berbagai pihak terkait, termasuk pemerintah desa setempat dan Polres Lombok Tengah. Langkah ini diambil untuk menegaskan kembali bahwa Sertifikat Hak Milik (SHM) yang tercatat atas nama Bu Nunung tetap sah dan tidak pernah dibatalkan oleh pihak yang berwenang melakukan pembatalan SHM.

“Hari ini kami melakukan pembongkaran pagar yang dipasang oleh oknum yang mengklaim sebagai pemilik lahan. Berdasarkan data yang kami miliki, tidak ada satu pun dokumen sah yang membatalkan sertifikat hak milik atas nama Ibu Sahnun Ayitna Dewi,” ujar Nurdin Dino dengan tegas saat memimpin pembongkaran di lokasi.

Dino juga menekankan bahwa langkah ini bukanlah tindakan sewenang-wenang, melainkan upaya untuk melindungi hak kepemilikan yang sah. Ia mengingatkan agar setiap pihak yang merasa dirugikan dapat menempuh jalur hukum yang sesuai.

“Jika ada yang merasa dirugikan, silakan melaporkan ke pihak berwenang. Namun, jika pagar ini dibangun lagi, kami siap untuk membongkarnya kembali. Kami akan terus mengawal kasus ini hingga hak klien kami benar-benar dihormati,” tegas Dino.

Advertisement

Lahan seluas 1,73 hektare yang terletak di kawasan strategis pariwisata Pantai Bumbangku, Lombok Tengah ini sudah lama menjadi objek sengketa antara Bu Nunung dan pihak yang mengaku sebagai pemilik sah. Meskipun demikian, sertifikat tanah atas nama Bu Nunung tetap sah dan belum ada bukti atau dokumen yang membatalkan hak kepemilikan tersebut. Karenanya Dino mendorong agar persoalan ini dibawa ke meja hijau. "Kalau merasa ini miliknya gugat saja di PTUN," ungkapnya.

Di akhir – akhir pembongkaran, dua orang pria yang mengaku dari pihak yang mengklaim sebagai pemilik lahan
datang ke lokasi. Mereka adalah Lalu Srijanim yang mengaku sebagai penjaga dan Lalu Wahyu yang mengaku sebagai Kuasa Hukum Sudin, pihak yang mengklaim sebagai pemilik lahan. Keduanya berusaha untuk menghentikan pembongkaran.

Saat ditanya dokumen apa yang menjadi dasar mereka melakukan pemagaran dan penghentian pembongkaran pagar. Keduanya tidak bisa menunjukkan dengan alasan tidak membawa dokumen yang dimaksud.

Sementara, Lalu Wahyu yang dimintai Surat Kuasa dari Sudin tidak bisa menunjukkan bukti fisiknya. Ia mengaku diberikan kuasa oleh Sudin secara lisan melalui saluran telfon.

"Saya belum pernah bertemu Sudin, saat ini beliau sedang ada di Jakarta, saya dikuasakan oleh Sudin. Saya kontak telfon jadi saya dikuasakan lisan," akunya.

Advertisement

Saat dicerca pertanyaan bagaiman bisa mengaku sebagai orang yang dikuasakan tanpa ada surat kuasa yang sah secara hukum, ia tidak bisa menjawab dan langsung mengelak meninggalkan sejumlah wartawan yang mewawancarai dirinya.

Persoalan ini diharapkan menemukan titik terang mengingat kawasan tersebut kini menjadi obyek wisata yang sedang berkembang. (F3)

Ket. Foto:
1. Pembongkaran pagar Bumbangku Beach Cottage. (HarianNusa)
2. Nurdin Dino SH, MH, Kuasa Hukum Bu Nunung, Lalu Wahyu dan Lalu Srijanim saat berdebat soal kepemilikan lahan lokasi pembongkaran pagar. (HarianNusa)

Continue Reading
Advertisement

Hukum

Sengketa Proyek Pembangunan SDIT Yarsi Berakhir: Yayasan Yarsi NTB Wajib Bayar Rp 2,7 Miliar

Published

on

By

HarianNusa, Mataram – Polemik sengketa proyek pembangunan SDIT Yarsi antara Yayasan Rumah Sakit Islam (RSI) NTB dan kontraktor Soenarijo kini memasuki babak akhir. Setelah Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan yayasan, maka putusan yang mewajibkan yayasan membayar sisa kewajiban sebesar Rp 2,7 miliar kini telah inkrah. Secara hukum, tidak ada pilihan lain bagi yayasan selain melaksanakan isi putusan tersebut.

Pakar hukum dari Universitas Mataram, Joko Jumadi, menegaskan dalam hukum acara perdata, setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap, maka pelaksanaannya bersifat wajib.

“Ya, ini kasus sudah inkrah, dan putusan menyatakan bahwa Yayasan RSI harus membayar Rp 2,7 miliar kepada penggugat. Secara hukum, sekarang tinggal bagaimana eksekusi itu dilakukan. Prosesnya juga sudah berjalan, sudah on the track,” ujar Joko kepada media, Sabtu (4/5/2025).

Ia menyebutkan, pengadilan juga telah melaksanakan aanmaning, atau teguran, kepada pihak yayasan. Teguran ini adalah bagian dari tahapan formal sebelum dilakukan tindakan eksekusi lanjutan apabila termohon tidak segera melaksanakan putusan secara sukarela.

“Dengan aanmaning itu, mau tidak mau yayasan harus membayar sesuai nilai yang ada dalam putusan,” tegasnya.

Advertisement

Namun demikian, Joko menilai persoalan teknis pembayaran menjadi titik sensitif. Tawaran cicilan Rp 10 juta per bulan dari pihak yayasan dinilai terlalu lama dan memberatkan posisi penggugat.

Menurut Joko, dalam praktik hukum acara perdata, apabila tidak tercapai kesepakatan pembayaran secara sukarela, pengadilan dapat melanjutkan ke tahap penyitaan terhadap aset milik termohon. Selanjutnya, aset yang disita dapat dilelang, dan hasilnya digunakan untuk membayar utang yang telah diputuskan pengadilan.

“Penggugatnya keberatan kalau kemudian dengan Rp 2,7 M dibayar 10 juta per bulan, saya kira akan sangat berat bagi penggugat, dan kalau memang ada sita jaminan, ini saya pikir bisa diajukan lelang,” ungkapnya.

Sementara itu, Kuasa hukum pemohon, Satrio Edi Suryo menjelaskan, pihaknya telah mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Negeri Mataram sejak 28 April 2025, menyusul pelaksanaan aanmaning atau teguran yang dilakukan pengadilan pada 17 Maret 2025.

“Ketua Pengadilan sudah memberikan teguran kepada termohon, agar melaksanakan putusan. Namun sampai sekarang belum ada kesepakatan teknis pembayaran. Kami sempat ditawari cicilan Rp 10 juta per bulan, tapi kami tolak karena itu terlalu lama. Kami hanya bersedia maksimal 3–4 kali cicilan,” ungkap Satrio, Senin (5/5/2025).

Advertisement

Menurutnya, karena tidak ada respons lebih lanjut dari pihak yayasan, tim hukum pemohon telah menyerahkan daftar aset yang diduga milik yayasan kepada pengadilan sebagai langkah persiapan sita eksekusi. Aset tersebut nantinya akan dilelang untuk membayar utang kepada pemohon.

“Kalau tidak ada kesepakatan damai, eksekusi akan berlanjut. Kami juga telah melaporkan ke pengadilan agar proses lanjut dilakukan. Ini bukan intimidasi, tapi pelaksanaan hukum yang wajib,” ujar Satrio.

Di sisi lain, pihak Yayasan RSI NTB melalui tim hukumnya, Rio Hartono, menyatakan mereka tidak menolak putusan pengadilan.

“Pada intinya kami dari Yayasan menghormati putusan pengadilan, tetap menghormati putusan kita harus melakukan pembayaran, apapun penjelasannya tapi sampai hari ini sampai hari ini belum ada teknis pelaksanannya,” jelas Rio.

Sengketa ini bermula dari kontrak proyek pembangunan SDIT Yarsi Mataram antara Yayasan RSI NTB dan Soenarijo pada 11 Juni 2020, dengan nilai Rp 11,2 miliar. Pada 29 Juni 2021, pekerjaan dihentikan sepihak oleh yayasan tanpa penjelasan yang jelas, lalu dilanjutkan oleh pemborong lain. Soenarijo menilai pekerjaannya telah selesai 68,39% senilai Rp 7,6 miliar, ditambah pekerjaan tambahan sekitar Rp 339 juta. Sementara yayasan hanya membayar sekitar Rp 5,2 miliar, menyisakan utang sekitar Rp 2,79 miliar.

Advertisement

Gugatan diajukan tahun 2021 dan dimenangkan Soenarijo di tingkat PN, dikuatkan oleh PT, MA, hingga PK yang semuanya mewajibkan yayasan membayar. (F3)

Continue Reading

Hukum

Kuasa Hukum Termohon Lahan Gili Sudak Siap Gugat Balik: “Hukum Masih Membuka Ruang Perlawanan!”

Published

on

By

HarianNusa, Mataram – Meskipun proses eksekusi lahan di Gili Sudak, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat, telah dilaksanakan pada Kamis (24/4/2025), kuasa hukum dari tiga pihak termohon eksekusi yakni Brigjen Pol (Purn) Drs. Idris Kadir, PT. Pijak Pilar, dan Awanadi, menegaskan akan tetap menempuh upaya hukum lanjutan.

Dari Kantor Hukum AN Law Office, kuasa hukum Ainudin SH., MH., dan Kurniadi SH., MH. (alias Ciko), menyatakan bahwa masih terdapat sejumlah peluang hukum yang bisa dimanfaatkan untuk mempertahankan hak-hak klien mereka.

“Eksekusi bukanlah akhir dari segalanya. Ini perkara keperdataan, yang secara prinsip masih membuka ruang bagi siapapun untuk mempertahankan haknya maupun mengajukan klaim baru,” ujar Ainudin dalam konferensi pers, Sabtu (26/4/2025).

Ia menilai, dalam perkara ini masih banyak "peristiwa hukum janggal" yang dapat dikaji sebagai dasar untuk mengajukan legal action baru terhadap Muksin Mahsun, selaku pihak yang memenangkan perkara sebelumnya. “Salah satu prinsip hukum acara perdata adalah bahwa pengadilan tidak boleh menolak perkara,” tegasnya.

Ainudin juga menyoroti dugaan adanya pemalsuan bukti jual beli bawah tangan, yang diklaim dilakukan secara adat dan menjadi dasar utama (causa prima) bagi Muksin dalam melakukan klaim terhadap tanah di Gili Sudak.

Sementara itu, Ciko menyatakan bahwa meskipun putusan pengadilan telah inkracht (berkekuatan hukum tetap), hukum tetap membuka ruang untuk koreksi terhadap produk hukum yang dinilai bermasalah.

“Kami pernah menang dalam gugatan Partij Verzet di PN Mataram, dan berhasil mengeluarkan hampir 2 hektar tanah milik PT. Pijak Pilar dari objek eksekusi. Artinya, celah hukum itu nyata dan bisa diperjuangkan,” kata Ciko.

Lebih lanjut, kuasa hukum menyayangkan eksekusi yang menyasar lahan milik Brigjen Pol (Purn) Drs. Idris Kadir seluas 10 are (1.000 m²), padahal tanah tersebut telah dibeli secara sah, bersertifikat, dan sudah dilakukan balik nama sesuai prosedur.

“Klien kami membeli tanah itu dalam status bersih, tidak bersengketa, dan telah dilakukan pengecekan ke BPN serta ke lokasi fisik. Putusan pengadilan tidak bisa serta-merta mengikat pihak yang tidak terlibat dalam perkara, sesuai asas inter partes,” jelas Ciko.

Pihak kuasa hukum juga menegaskan akan menempuh jalur pidana terhadap oknum yang melakukan perusakan plang dan masuk ke lahan kliennya secara melawan hukum. Diketahui, sekitar 10 orang diduga terlibat dalam peristiwa tersebut.

“Perlawanan hukum melalui Derden Verzet juga telah kami ajukan, namun eksekusi tetap dijalankan. Padahal, merujuk pada Perdirjen Badilum MA RI No. 40 Tahun 2019, eksekusi seharusnya ditunda jika ada keberatan dari pihak ketiga yang memiliki hak atas objek,” tambahnya.

Pihak Muksin Mahsun juga disebut telah mengklaim sejumlah bidang tanah bersertifikat yang sebenarnya berada di luar objek sengketa, termasuk sertifikat atas nama Idris Kadir, Yusinta Dewi, dan Debora Susanto.

“Ini menunjukkan adanya kekeliruan dalam peta kadastral yang dijadikan dasar dalam perkara. Konstatering pengadilan pun mencatat adanya sertifikat yang berada di luar objek perkara,” pungkas Ciko.

Sebelumnya, Ahmad Zainal, SH., MH , Kuasa Hukum Debora Susanto, menyampaikan bahwa pihaknya telah mengajukan surat keberatan ke PN Mataram sebelum eksekusi dilakukan. “Dasar kami keberatan karena terdapat empat SHM aktif di titik batas yang disengketakan: dua atas nama Debora Susanto, satu atas nama Idris Kadir dan satu lagi atas nama Yusinta Dewi,” ujarnya, saat proses eksekusi.

Ahmad menegaskan bahwa pelaksanaan eksekusi harus merujuk pada batas-batas SHM yang sah secara hukum. “Kalau eksekusi dijalankan sesuai SHM yang aktif, silakan. Tapi kalau tidak sesuai, kami tolak. Ini sesuai Buku II Mahkamah Agung Tahun 2013. Putusan PK yang tidak relevan dengan objek perkara pokok tidak dapat dieksekusi. Di sini, ada empat SHM aktif, jadi PN harus jawab: mana yang dieksekusi?” tegasnya.

Sebelumnya, berdasarkan putusan Kasasi Mahkamah Agung dan peninjauan kembali (PK), Muksin Mahsun ditetapkan sebagai pemilik sah atas sebagian lahan di Gili Sudak. Eksekusi dilakukan pasca konstatering untuk menetapkan batas-batas objek sengketa. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan, banyak sertifikat sah milik pihak lain justru ikut terdampak eksekusi.

Kuasa hukum menegaskan, langkah hukum lanjutan akan terus dilakukan demi memastikan hak-hak klien mereka terlindungi sepenuhnya di mata hukum. (F3)

Ket. Foto :
1. Kuasa Hukum Termohon Lahan Gili Sudak, Ainudin, SH., MH. (Ist)
2. Kuasa Hukum Debora Susanto Ahmad Zainal, SH., MH (batik). (Ist)

Continue Reading

Hukum

Nurdin Dino akan Bongkar Dugaan Konspirasi Sengketa Lahan Bumbangku 

Published

on

By

HarianNusa, Lombok Tengah – Sengketa kepemilikan lahan seluas 1,70 hektare di kawasan wisata Bumbangku, Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, makin memanas. Persoalan ini menjadi pelik ketika sejumlah pihak yang tidak memiliki kapasitas maupun legalitas justru ikut campur, sehingga memperkeruh suasana.

Ketegangan memuncak pasca pembongkaran paksa pagar ilegal yang berdiri di atas lahan milik sah Sahnun Ayitna Dewi (Nunung), Rabu (9/4). Pembongkaran dilakukan karena pagar tersebut dibangun tanpa izin di atas tanah yang dibuktikan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Nunung.

Namun tindakan ini menuai protes dari oknum yang mengatasnamakan Sudin, meskipun pihak tersebut sama sekali tidak memiliki legal standing yang sah dalam sengketa ini.

Lebih lanjut, polemik diperkeruh oleh pernyataan kontroversial Kepala Dinas Pariwisata Lombok Tengah, Lalu Sungkul, dalam konferensi pers yang menyebut bahwa SHM milik Ibu Nunung "bodong". Hal ini dinilai tidak etis dan menyesatkan, mengingat tidak ada lembaga resmi seperti BPN yang pernah menyatakan sertifikat tersebut tidak sah.

Menanggapi hal ini, Kuasa Hukum Ibu Nunung, Nurdin Dino, SH., MH., angkat bicara. Ia menegaskan bahwa komentar Kadis Pariwisata tidak pada tempatnya dan berpotensi menggiring opini publik.

"Kami mengingatkan saja, apalagi itu statemennya bisa menggiring opini publik bahwa dengan sertifikat klien kami itu bodong. Kan bahaya? BPN saja tidak pernah menyatakan atau mengeluarkan pernyataan resmi terkait produk yang mereka keluarkan. Lah ini Sungkul kok seperti hakim saja," tegas Dino.

Dino menambahkan, bahwa hingga saat ini belum ada satu pun putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang membatalkan SHM milik kliennya. Ia juga mempertanyakan motivasi pihak-pihak tertentu yang terus menyerang kliennya.

"Jadi kami patut menduga ada permainan. Bahkan indikasi masuk angin di kalangan oknum Pemkab sangat terlihat. Ibu Nunung pernah dituduhkan memalsukan dokumen tanpa kejelasan, ditawari kompensasi Rp1,5 miliar agar menyerahkan tanahnya, hingga ada oknum APH yang meminta agar sertifikat dimusnahkan tanpa putusan pengadilan. Itu kalau bukan konspirasi, lalu apa?" ungkapnya.

Dino menegaskan, bahwa tim hukum akan mengambil langkah tegas dan melaporkan kasus ini ke instansi berwenang, bahkan hingga ke Presiden Prabowo Subianto.

"Kami tidak akan tinggal diam. Ini menjadi pelajaran bagi oknum-oknum yang mencoba bermain dalam kasus ini. Semua akan kami laporkan," pungkasnya. (F3)

Ket. Foto:
Kuasa Hukum Ibu Nunung, Nurdin Dino, SH., MH., diwawancara saat proses pembongkaran pagar pantai Bumbangku. (HarianNusa)

Continue Reading

Populer

error: Content is protected !!