Revisi UU MD3: Kartu Merah untuk DPR

0
2247

Oleh: Satria Madisa

Demokrasi sebuah sistem politik dengan legitimasi masyarakat dunia. Terbukti sistem ini banyak dijadikan asas bernegara. Sistem ini mampu merebut optimisme masyarakat dunia dengan kedaulatan berada di tangan rakyat. Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di Asean dalam perjalanannya merupakan ijtihad para pendiri dan negarawan bangsa. Di era milenial kebutuhan rakyat Indonesia terhadap kebebasan dan kesetaraan begitu tinggi. Rakyat terlibat aktif dalam pembangunan, pemerintahan, dan negara. Mula-mulanya kekuasaan berada di tangan rakyat dan dikawal pula oleh rakyat dengan fungsi kontrol terhadap kekuasaan negara. Secara teoritis konseptual kekuasaan memang tidak boleh absolut. Karena absolutism berpotensi tiran bahkan fasis.

Indonesia menganut sistem pembagian kekuasaan (distribution of power) dari basis Trias Politica Montesquieu. Di mana lembaga negara dibagi menjadi tiga lembaga. Lembaga yudikatif (MA dan MK) Eksekutif (presiden) dan Legislatif (DPR). Trias politica Montesquieu juga bermasalah dalam struktur ketatanegaraan kita, maka tidak heran fungsi legislasi juga dimiliki oleh presiden. Seperti kewenangan untuk mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) bersama legislatif.

Dalam tataran praktis demokrasi kita juga sangat terancam. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan cara rezim “baju demokrasi” memangkas dan mengkriminalisasi kebebasan rakyat. Maka tidak heran banyak kepala daerah bahkan presiden menafsirkan kritik rakyat ke jeruji besi. Ditambah lagi dengan revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD (MD3) yang memberikan kewenangan luar biasa kepada wakil rakyat untuk memenjarakan kritik rakyat. Indonesia negara demokrasi cita rasa mobokrasi.

Revisi UU MD3 Diskursus Phobia Demokrasi

Demokrasi kita ditafsirkan berdasarkan selera rezim. Maka tidak heran produk hukum berupa undang-undang tersusupi ketakutan dengan pasal-pasal siluman. Tepatnya demokrasi yang memotong lidah pemberi mandat. Di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap DPR bukannya reformasi internal yang dilakukan, tapi pembusukan internal. Menurut Lembaga Survey Polling Centre yang bekerja sama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan survey anti korupsi. Salah satu temuannya, KPK dan Presiden lembaga yang paling dipercaya publik. Sementara DPR dengan kepercayaan terendah seperti dilansir di Detikcom. Ironi dan pembodohan massal dipertontonkan. Dari saya DPR dapat kartu merah.

Senin (12/2/2018) revisi UU MD3 disahkan. Ada beberapa pasal siluman yang mencakup penambahan jumlah pimpinan. Yakni tiga di MPR, satu di DPR dan satu di DPD. Ditambah pasal pemotong lidah rakyat yang memungkinkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mengambil langkah hukum kepada pihak yang merendahkan DPR seperti pada pasal 122 poin k.

“Mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan Anggota DPR.”

DPR sebagai representasi rakyat seharusnya tidak meminggirkan rakyat dari realita demokrasi. Sikap phobia terhadap rakyat dengan legitimasi revisi UU MD3 merupakan ketakutan. DPR seperti sebuah kapal tanpa peta dan kompas. Sebenarnya demokrasi ini untuk siapa?  Dengan dalih hipokrit berupa kehormatan dewan secara kelembagaan dan perorangan, DPR melegalisasi operasi pemotongan lidah rakyat secara paksa. Hemat penulis, cara terbaik dan etik menjaga kehormatan DPR sekiranya dengan menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan rel yang sudah diatur oleh Undang-Undang Dasar, baik secara kelembagaan dan keanggotaanya. Ditambah dengan penguatan legitimasi moral untuk merebut kepercayaan rakyat terhadap DPR.

Sudah berapa banyak DPR yang berada di jeruji karena korupsi dan melanggar hukum. Perbaikan sistem tata kelola moral itu langkah yang harus ditempuh dalam menjaga marwah dan kehormatan. DPR sekiranya harus berani memilih, menjaga kehormatan karena legitimasi pasal atau legitimasi rakyat. Penulis memandang bahwa disahkan revisi UU MD3 merupakan bentuk cara DPR merampas kehormatan karna posisinya secara moral maupun kinerjanya tidak terhormat.

Kartu Merah

Penulis memahami tulisan ini juga berpotensi bagi DPR untuk merampas kebebasan. Bahkan berpotensi menjerumuskan penulis pada jeruji besi. Demokrasi hidup di pikiran penulis bahkan harus mendekam ke penjara, itu harga untuk kebebasan. DPR Pantas mendapatkan Kartu Merah (pelanggaran berat) dan kalau dianalogikan dalam sepakbola DPR harus dikeluarkan dari lapangan. Kartu kuning semesta rakyat yang dimotori mahasiswa penulis pandang sebagai “agenda mendesak mahasiswa”. DPR anti-kritik, anti-pikiran, dan gila kehormatan. Penjarahan nurani rakyat mulai dipertontonkan dan mereka sibuk tertawa di tengah matinya demokrasi ini.

“Dilan jadi DPR itu berat, harus siap dikritik, harus siap dikontrol, dan harus siap di rendahkan, dan rakyat tidak mungkin kritik kalau kinerja dan kehormatan DPR itu bagus dan terjaga.”

Dalam krisis demokrasi ini tentu rakyat menunggu sosok negarawan ulung. Sebagai mesin penggugat ampuh otorianisme DPR, revisi UU MD3 sekiranya harus digugat di Mahkamah Konstitusi. Dan itu semua butuh sosok negarawan ulung. Prof. Yusril Izha Mahendra harus turun tangan untuk merebut demokrasi rakyat yang dipangkas oleh wakil rakyat. Dan kami siap mengawal dengan jihad literasi, dentuman suara, bahkan sampai pada darah.

Setelah Kartu Kuning?

Zaadit Taqwa telah membuka mata kita semua bahwa inovasi membangun gerakan harus mendapatkan momentum.  Momentum revisi ini sekiranya layak untuk kita kibarkan bendera merah (Kartu Merah) sebagai perlawanan terhadap mesin pemotong lidah rakyat. DPR HARUS DIBERIKAN KARTU MERAH! Dalih kehormatan harus ditransformasikan dengan moral, kinerja, dan keberpihakan pada pemberi mandat. DPR harus belajar tentang kedaulatan rakyat dan segala bentuk kegiatan yang memotong lidah rakyat. Adalah makar terhadap kedaulatan rakyat. Kritikan rakyat bukan musuh, justru revisi UU MD3 merupakan cara DPR menempatkan rakyat sebagai musuh. Bukankah rakyat dan DPR adalah kesatuan yang utuh?!

Satria Madisa