Quo Vadis Keadilan Sosial Ekonomi, Bima Ramah Apa Marah?

0
1862
Bupati dan Wakil Bupati Bima

Oleh: RAHMAT EN

Dalam lintasan sejarah, ketika Bung Karno merenung di bawah pohon sukun di Ende, Nusa Tenggara Timur, selama empat tahun pengasingan (1934-1938), ia tahu persis bahwa bangsa Indonesia hanya bisa dirajut oleh satu roh. Roh itu adalah konstruksi ideal kultural dari tanah, air, darah, dan tulang-tulang suku bangsa Nusantara. Itulah Pancasila. Pemahaman seperti itu seharusnya menuntun seluruh pemimpin yang termasuk dari padannya adalah Bupati Bima Indah Damayanti Putri atau yang lebih akrab disapa Dae Dinda meskipun yang secara lahiriah dipersonafikasi dengan pemimpin feminim (halus) yang kurang bisa bertindak maskulin (tegas), kemilau pancaran roh itu diharapkan hadir dalam setiap kerja politiknya demi mencapai suatu nilai yang ideal dalam kehidupan idiil masyarakat Kabupaten Bima.

Perjalanan pemerintahan di bawah kepemimpinan Dinda – Dahlan sebagai pemegang otoritas tertinggi di Kabupaten Bima sejak 12 Februari 2016 hampir genap dua Tahun, simultan dengan itu berbagai problem dan polemik berkepanjangan pun menjadi implikasi bawaannya. Pada pemilu serentak 2015 lalu, mereka mengusung tagline kampanye dengan visi (Ideal) “Bima RAMAH” (Religius, Aman, Makmur, Amanah dan Handal). Sementara itu, dalam realitas kehidupan bermasyarakat visi yang dicita-citakan tersebut kini meredup (jika tidak dikatakan mati) oleh pencitraan politik yang berlebihan tetapi miskin roh. Perilaku pejabat yang cenderung hanya mementingkan diri sendiri dan kelompok yang membuatnya bebal, berada dalam alam hyper-reality, dan menjadi post-materalistist dalam artian negatif (hanya pencitraan). mereka sudah tidak bisa merasakan keluhan batin rakyat, konsekuensi logis dari sundrom kekuasaan itu bisa dilihat dari akar kekerasan yang menimbulkan berbagai konflik horizontal-vertikal di kabupaten Bima.

Pertama, pembantaian sesama seiman-seagama yang acap kali terjadi, rujukannya pada kasus pembunuhan, pembacokan, hingga perkelahian antar-kampung lantaran persoalan sepele, yang dalam hal ini adalah Desa Tolouwi vs Laju yang menyisakan duka teramat mendalam, kemudian Desa Dadibou yang berminggu-minggu berperang saudara menggunakan senjata tajam, panah, dan senjata rakitan dengan Desa Risa. Pun, ikut pula Desa Kembali mengibarkan bendera perang melawan Desa Penapali yang juga tetangganya. setelah itu yang paling menggelikan adalah kasus pembacokan petani di Sape, menelurkan catatan hitam dalam pemerintahan Dinda-Dahlan seakan jauh panggang dari usahanya untuk mewujudkan nilai “ke-aman-an” dan “ke-religius-an”. malah, hal tersebut menjadi pameo di mata lokal terhadap rakyat Bima dengan mayoritas penduduknya yang mengaku diri sebagai muslim yang taat.

Apa penyebab timbulnya konflik kekerasan antar kelompoknya dalam suatu masyarakat? faktor keberagaman sering dianggap sebagai penyebabnya. Ada apa dengan keberagaman? keanekaragaman ras, suku dan bahasa dalam suatu negara terkhususnya Kabupaten Bima pastinya selalu menuntut kebebasan, pengakuan keberadaan dan persaingan untuk menjadi yang terbaik. Tuntutan-tuntutan itu sering kali diperlakukan secara tidak bijak oleh perorangan atau kelompok lain dalam masyarakat tertentu. akibatnya benturan kepentingan antar perorangan atau kelompok tak dapat terelakan. Salah satu jalan keluarnya, seharusnya Pemerintah Kabupaten Bima (Dinda-Dahlan) harus dapat menggunakan segala unsur pemerintahaannya untuk memberikan pemahaman pada masyarakat lewat seminar, simposium, diskusi terbuka, sosialisasi dan sebagainya dengan tema besarnya adalah “kemajemukan suku, agama, ras, antar golongan, agama dan bahasa” adalah modal dasar pembangunan sosial kemasyarakatan. Bahwa setiap warga negara berhak atas ruang kebebasan, pengakuan keberadaan, dan persaingan untuk menjadi yang terbaik adalah benar, tetapi penghormatan atas hak-hak orang lain harus menjadi pedoman dalam berprilaku. Karena itu, pemerintah kabupaten perlu bereksperimen untuk melakukan ekspansi sampai ke pelosok desa dalam memperkenalkan secara terbuka apa itu hak-hak minoritas, sehingga bisa dijunjung tinggi dan dihormati oleh masyarakat.

Bupati Bima yang anggun nan lembut niscaya harus menginfiltrasi karakteristik keanggunan dan kelembutannya pada spektrum kabupatennya, memasyarakatkan pemahaman tentang hak-hak minoritas untuk mencegah terjadinya konflik. Okey, agar sub-visi “Religius” dan “Aman” dapat efektif meminimalisir bahaya laten terjadinya konflik kelompok yang berujung pada pendiskriminasikan terhadap kelompok, golongan, suku, agama dan ras tertentu dan tidak hanya itu agar tindak enifisen Bupati sangat diharapkan mampu menggandeng legislatif, akademisi, polres, pemuda dan masyarakat dalam bersinergi demi terwujudnya harmoni kemasyarakatan.

Kedua, kejahatan korupsi yang melibatkan dua orang pejabat eselon II pemerintah daerah Kabupaten Bima berujung ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Korupsi Kopi Tambora (2009), kasus korupsi pengadaan sampan fiberglas (2012) dan tidak kalah hebohnya disusul kasus korupsi Pol PP (2015). Terjadinya kasus korupsi di Kabupaten Bima Pada Masa H. Ferry Zulkarnain yang biasa disapa Dae Ferry sekaligus sebagai almarhum suami Dae Dinda seharusnya dijadikan pengalaman agar tidak diulangi hal yang demikian, namun malah menjadi preseden buruk dalam tata pemerintahan Dinda-Dahlan, Kini kembali terangkat dugaan kuat kasus sampan Fiberglass berindikasi dilakukan korupsi berjamaah, kemudian seorang pejabat eselon II ruang lingkup pemerintah Kabupaten Bima, Inisial, Tf. R, ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan sampan Fiberglass oleh Mapolda NTB sebagaimana yang dilansir oleh Media NTB baru-baru ini. Kemudian, muncul pula dugaan korupsi anggaran pengadaan bibit bawang yang dipimpin oleh Bupati Bima dengan kucuran dana APBN sebesar Rp. 48 Miliar yang sampai sekarang masih ditangani KPK. Bupati Bima yang menjadi tokoh panutan dan menawan di mata rakyat sampai pula pada ajalnya, terlibat kasus dugaan korupsi, seharusnya pemberantasan korupsi di kabupaten dipimpin oleh sinergi antara bupati dan KPK serta unsur-unsur lainnya, tapi malah Bupati Bima yag menjadi kebanggaan rakyatnya mendapatkan status sebagai kepala daerah kabupaten yang terduga korupsi (pasti in menjadi pameo di mata daerah lain, ibaratkan maling teriak maling). Tidakkah ini mereduksi nilai “ke-amanah-an” dalam kemegahan singgasana kebupatian Dinda-Dahlan? Besar harapan rakyat agar semua koruptor di Kabupaten Bima menerima balasan yang setimpal (jika tidak yang seberat-beratnya).

Menurut pendapat para ahli (bukan ahli korupsi) ambuisitas-lah yang membuat pemberantasan korupsi gagal. Hal itu dapat dibaca oleh calon-calon koruptor atau bibit koruptor-koruptor. Yang penting punya kuasa dan backing-an kuat, pasti tak akan kena, yang penting kita tak bersentuhan dengan orang yang menjadi musuh orang kuat maka kita aman. Logika inilah yang berkembang di segala tingkatan, maka tak heran korupsi di Kabupaten Bima menjadi ajang perlombaan yang dilakukan secara berjemaah bahkan saking berkembangnya muncul kasus-kasus dugaan korupsi termutakhir dalam sejarah kelam Kabupaten Bima (korupsi zaman now kali yaa). Hal ini selaras dengan praktek politik yang bersifat oligarkik (lihatlah sebagian besar jabatan-jabatan strategis dikabupaten bima seperti halnya jabatan bupati hanya dipegang dari orang-orang yang berasal dari marga Dae). Sehingga kekuasaan politik dikendalikan oleh segelintir orang (harapan penulis, semoga status qou kekuasaan ini segera berakhir agar tak terjadi kecemburuan dalam dunia politik yang menimbulkan lahirnya anti-semit ala Kabupaten Bima dengan sasaran membumihanguskan semua klan Dae). Dan apa bila pola-pola pelanggengan kekuasaan seperti ini dipermanenkan, bukan tidak mungkin akan muncul berbagai kekerasan fisik seperti yang pernah dikatakan oleh Cicero, “Ketika hukum tak tegak akhirnya premanisme menguat”.

Jika kita menggeneralisir keadaan yang terjadi di Kabupaten Bima (Lokal) dan melakukakan komparasi dengan Indonesia (Nasional), maka dapat kita lihat, struktur pemerintahan kita masih tetap sama entah pusat maupun daerah bahkan dari orde lama, orde baru sampai era reformasi, malah berbiak. Kehadiran KPK tak mengurangi korupsi, tapi malah berbiak. Lahirnya MK seiring dengan kualitas produk legislasi di Parlemen yang semakin buruk. Demokrasi justru memekarkan politik dinasti dan kolusi. Harapan terbesar rakyat terutama dari kaum muda Kabupaten Bima saat ini adalah timbulnya keberanian dari semua elemen masyarakat yang meliputi negara dan pemerintah (negara sebagai kumpulan masyarakat terpenting, pemerintah sebagai kumpulan masyarakat terkuat) untuk mengkritisi apa yang menjadi dan membuat diri sendiri nyaman dan suka adalah sebuah integritas tertinggi. jauh lebih hebat dari pada mengkrangkeng koruptor dan memerangi preman dan musuh (waktu aksi), dan agama Islam yang menjadi agama mayoritas masyarakat Kabupaten Bima telah mengingatkan itu, “Jihad terbesar adalah memerangi hawa nafsu, yang bersemayam di dalam diri kita sendiri” (dan doktrin ini pun ada dalam semua agama yang berketuhanan Yang Maha Esa). Ini penting untuk diingatkan karena modal utama untuk menjadi pemberantas korupsi adalah integritas. jika integritas kita sudah cacat, maka jangan lagi menjadi pemberantas korupsi (KPK) karena itu lebih buruk dari pada seorang koruptor ulung.

Selanjutnya…