Politik Identitas dan Masa Depan Demokrasi Kita

0
4264
Satria Madisa
Oleh: Satria Madisa
(Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Mataram)

“Politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat mempercayainya”, Charles de Gaulle.

Menurut Miriam Budiarjo dalam bukunya “Dasar-Dasar Ilmu Politik” bahwa ilmu politik, cabang ilmu sosial yang membahas teori dan praktik politik serta deskripsi dan analisis sistem politik dan perilaku politik.

Aristoteles sebagai filsuf pertama yang memperkenalkan politik dengan konsepnya Zoon Politikon (Makhluk sosial) mengungkapkan bahwa hubungan atau interaksi sosial antara dua orang atau lebih pasti melibatkan hubungan politik.  Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami yang tidak bisa dihindari manusia. Selaras dengan adagium politik yang sekiranya relevan dan kontekstual dengan realitas manusia sebagai insan politik, “Binatang yang berpolitik adalah manusia, sedang manusia yang tidak berpolitik adalah binatang.”

Politik menjadi kebutuhan kolektif yang sangat vital, vitalitasnya bisa dilihat dari unsur-unsur yang lazim, seperti persoalan negara, kekuasaan, Kebijakan, keputusan, alokasi, dan pembagian kekuasaan.

Penulis melihat politik sebagai seni (praktik) dengan pendekatan perilaku manusia dalam memahami politik. Bukan politik sebagai ilmu.

Antonio Gramsci dengan konsepnya yang terkenal “Kill to Power” mengungkapkan bahwa tiap diri manusia ada kehendak untuk berkuasa. Kehendak berkuasa inilah sebagai motivasi manusia-manusia normal dalam berpolitik.  Niccholo Machiavelli filsuf politik yang sangat berpengaruh dalam tradisi perpolitikan dunia yang karyanya tetap mengabdi bersama zaman. Il Princple terjemahan Indonesia “Sang Pangeran” dianggap sebagai filsafat politik yang paling bengal, buku wajib bagi para politisi yang melihat politik hanya kekuasaan dan bagaimana mempertahankan kekuasaan didapat, apapun caranya serta kitab wajib para diktator politik. Produksi pemikiran Machiaveli dalam Il Principle (sang pangeran) dengan sangat realistis dan jujur membedah politik. Bahkan pemikiran yang mencengengkan salah satunya agama tidak penting dalam politik, kecuali bisa dikonversikan untuk mendapatkan kekuasaan dan melanggengkan kekuasaan.  Mungkin konsepsi inilah yang menjadi landasan teoritis dari konsepsi politik identitas dalam tradisi politik modern yang banyak digunakan sebagai mainset dan strategi perpolitikan kita.

Penting juga untuk dibatasi, bahwa dalam tulisan ini akan memfokuskan pada kajian politik identitas (perilaku politik) di Indonesia dengan landasan argumentatif “Politik asal menang dengan bebas nilai” yang mendapatkan panggung di kehidupan politik kita di negara yang lahir atas spirit keberagaman dan pluralitas. Pancasila yang menjadi konsesus falsafah politik kita didasari karena keberagaman dan pluralitas tersebut.

Politik identitas merupakan basis konstruksi perlawanan kaum tradisionalis terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di mana konsepsi berbangsa dan bernegara tidak dibatasi patok. Demokrasi dengan kompleksitas serta menawarkan konsepsi, di mana tidak ada lagi pembatas antar manusia dan antar bangsa, menjadi faktor eksternal ruang politik identitas, mendapatkan panggung. Inilah motivasi dan spirit hadir dan tumbuhnya politik identitas, sebagai perlawanan bahwa negara dibatasi patok, seperti kedaerahan, agama, suku, budaya, serta warna kulit. Sehingga terbentuk konsepsi “Aku bukan dia, kita bukan mereka” Tapi sejatinya perkembangan politik identitas imbas dari perebutan kekuasaan para elit yang memiliki koneksi di sistem. Didukung finansial serta pemain-pemain pengganti yang siap mensukseskan tujuan politik tersebut. Artinya politik identitas, lahir akibat konfigurasi dan benturan pertarungan kepentingan elit, yang tidak menjadikan rakyat, diposisi sebagai pemegang kekuasaan. Isu Sara banyak dijadikan komoditas politik para elit yang hanya tahu tentang kemenangan. Mereka seolah-olah mengendalikan roda sejarah, mengendalikan cara pikir rakyat, serta menempatkan rakyat hanya komoditas yang dibenturkan. Mereka aktor intelektual dan penyedia basis (konseptor), sementara penarik pelatuk adalah pemain-pemain yang sudah dipersiapkan (ormas, pers bahkan preman) dan rakyat hanya dijadikan peluru untuk menembak rakyat lainya. Miris bukan? Inilah konsekuensi di mana kualitas sumber daya, kontelasi idiologi, ketidak-berpihakan parpol, yang seharusnya penjaga dan pengontrol marwah dan instrumen politik. Lewat proses demokrasi yang sehat dan politik gagasan.

Terjemahan dari kedaulatan rakyat yang diwujudkan dengan demokrasi menemukan jalan buntu, menimbulkan penyakit dan bencana demokrasi. Parpol sebagai miniatur demokrasi malah hadir sebagai wabah bagi demokrasi, bukankah parpol berfungsi sebagai organisasi idiologis, sarana pendidikan politik, komunikasi politik, dan rekruitmen politik. Bukankah motivasi dan dasar konseptual parpol itu dibentuk, bertujuan sebagai pengawal dan pengontrol demokratisasi. Di parpol inilah para elit mendapatkan ruang dan dukungan koneksi, dijantung sistem dengan semua strategi yang terkadang tidak mencerminkan semangat demokratisasi.

Pilgub Jakarta menurut hemat penulis, kemenangan politik identitas. Di mana SARA jadi mesin politik canggih faktor penentu kemenangan. Isue sara laris manis sebagai medium konflik yang menjanjikan yang didukung propaganda masif. Masjid yang seharusnya jadi ruang untuk kegiatan-kegiatan ibadah, ruang untuk menebarkan cinta kasih dan pesan kedamaian umat malah digunakan untuk kampanye politik. Suku yang seharusnya menyadarkan identitas keberagaman malah dijadikan pemain pengganti untuk mendulang basis, begitupun warna kulit. Akibatnya, demokrasi kita disusupi penyakit yang bukan hanya membahayakan demokrasi tapi juga membahayakan kebangsaan kita. Penyakit yang menurut Mahfud MD pedagogik dan narsisme. Tentu konsilidasi menuju demokrasi partisipatif dan responsif menjadi sangat langka. Dan seterusnya kita hanya merasakan demokrasi yang hanya bungkusan saja.

Fakta tentang kemenangan politik identitas (Pilgub Jakarta) menjadi landasan teoritis dan praktis politik kita. Jakarta saja yang katanya dipenuhi elit-elit modernis dan pancasilais kostelasinya dimenangkan kaum tradisionalis. Apakah politik identitas akan hanya terjadi di Ibu Kota?

Menurut hemat penulis, mentalitas politik asal menang telah dicontohkan oleh elit-elit nasional dari parpol dan unsur-unsur tertentu. Mentalitas elit nasional tersebut akan sangat membantu elit lokal menemukan racikan strategi yang ampuh untuk memenangkan pertarungan politik daerah walaupun dengan cara yang tidak demokratis. Tentu yang diuntungkan adalah kaum mayoritas, entah karna faktor agama, kedaerahan, suku, dan budaya. Ruang politik tidak dijadikan kostelasi idiologisasi, kostelasi gagasan, dan kostelasi konsep membangun daerah, terciptanya diktator mayoritas menjadi keharusan dan minoritas perlahan dipinggirkan dari realitasnya. Menarik ungkapan dari Rocki Gerung bahwa Bangsa dan kedaulatan hancur karna ambisi kekuasaan.

Wajar saja figur di luar Jawa seolah diharamkan untuk menjadi presiden. Kira-kira ini gambaran di mana politik identitas yang mengucilkan kostelasi idiologi dan kostelasi gagasan. Bukankah Basis massa bukan tolak ukur kualitas SDM dan kapasitas memimpin sebuah bangsa?

Konsep politik Machiavelli mendapatkan panggung. Pembaca yang budiman sekiranya tahu siapa Machiavillian sejati. Machiavellian adalah sebutan untuk orang yang rakus akan kekuasaan dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan. Para elit politik yang seharusnya bertanggung jawab dari kerumitan demokrasi kita. Lantas elit mental ini siapa? Sederhanya mereka adalah oknum dan perkumpulan yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan, pembaca bisa menafsirkan sendiri.

Bagaimana dengan Pilgub NTB?

Sebagai generasi muda NTB, tentu peremajaan demokrasi, cita-cita yang perlu didorong dengan mainstrem politik gagasan. Medium politik Pilgub dijadikan sarana untuk menerjemahkan konsepsi membangun NTB berbasis gagasan, di mana ruang politik diaktualkan sebagai momentum untuk ikhtiar NTB membangun. Politik gagasan adalah skema perpolitikan di mana kostelasi gagasan mendapatkan panggung. Ruang kostelasi idiologisasi mengilhami terbentuknya tatanan masyarakat daerah yang dewasa, berdaya saing, juga menjawab persoalan yang menjadi dinding pembatas NTB untuk maju, seperti masalah IPM (Indeks Pembangunan Manusia), kesenjangan sosial, kemiskinan, pengangguran, serta perumuskan konsep membangun NTB. Tentu politik gagasan harus menjadi idiologi kolektif unsur-unsur politik, seperti figur, masyarakat, parpol, dan stocke holder politik yang ada.

Pilgub NTB berbasis integritas, di mana pilihan rasional masyarakat, pelaksana, pengawas, parpol, pemuda dan mahasiswa harus mendeklarasikan penolakan terhadap politik identitas. Penolakan secara konseptual dan praktis di medium politik. Sejatinya politik identitas, agenda tersembunyi para elit untuk kuasa dan keuntungan.  Menarik kutipan kata bijak dari Ayn Rand bahwa, integritas adalah kemampuan untuk berpijak karena sebuah gagasan. Dikorelasikan dalam politik khususnya Pilgub NTB yang berintegritas, keharusan kiranya gagasan mendapatkan panggung, dimulai dari pemikiran apalagi perbuatan. Di mana ruang-ruang demokrasi yang sehat lebih domain dengan pergulatan gagasan membangun dari pada sibuk menghakimi latar belakang kultural figur.

Tradisi politik identitas, mendapatkan panggung manakala, kostelasi idiologis, kostelasi gagasan absen. Sumber daya politik yang paham politik sebagai sarana kebajikan serta pengabdian kehilangan realitasnya. Akhirnya mentalitas elit karbitan tanpa idiologisasi yang jelas mendapatkan ruang. Akhirnya reproduksi strategi “Asal Menang” dirumuskan. Di medsos saja dalam menjemput keceriaan bersama masyarakat NTB (Pilgub NTB) benih-benih politik identitas menggema di ruang publik (Menuju pilgub NTB 2018-2023). Kostelasi gagasan tidak mendapatkan tempat, tapi mengkorek-korek latar belakang kultural dan kedaerahan lebih domain. Dan akhirnya akun-akun isedental kalau tidak bisa disebut akun palsu bermunculan untuk propaganda. Itu di sosmed bagaimana dalam dunia nyata? Semoga saja tidak.

Mahfud MD dalam bukunya Politik Hukum Demokrasi, mengatakan bahwa demokrasi ideal manakala ruang partisipasi dan responsivitas masyarakat terbuka selebar-lebarnya. Ini artinya konsepsi demokrasi yang ideal adalah Demokrasi Partisipatif dan Demokrasi Responsif. Tentu harus ada iklim yang mendukung untuk prosesi konsilidasi demokrasi ideal. Penulis optimis manakala ruang gagasan mendapatkan panggung di Pilgub NTB optimisme masyarakat dalam berdemokrasi mendapatkan momentumnya. Jusru di tengah bablasnya demokrasi nasional di tengah kostelasi elit nasional yang cenderung  “mentuakan”  demokrasi, justru elit politik daerah dan stocke holder yang ada harus membangun iklim dan ritme politik yang meremajakan demokrasi. Peremajaan demokrasi diwujudkan dengan terinternalisasi kesadaran para politisi bahwa kostelasi politik bukan hanya “asal menang” dan persoalan keuntungan.  Politik berbasis SARA tidak boleh menjamah terus menerus demokrasi dibumi gora.

Semoga saja politik berbasis gagasan menjadi trend masyarakat daerah dalam berpolitik. Karena masa depan NTB sangat ditentukan oleh kualitas pemimpin, dan kualitas pemimpin tidak jauh berbeda pada kualitas masyarakatnya dalam menentukan keyakinan politik dan kontrol terhadap produk dari pemimpin tersebut.

Semoga saja NTB jauh dari politik identitas, karna momentum pilgub keceriaan bersama untuk masa depan NTB selanjutnya. Pilgub NTB berintegritas, berbasis gagasan, NTB Gemilang.