HarianNusa.com, GAZA – Krisis kemanusiaan di Palestina adalah imbas dari konflik berkepanjangan. Jalur Gaza sebagai salah satu daerah konflik merupakan wilayah yang paling banyak mengalami problem kemanusiaan. Krisis itu mencakup lini sosial, ekonomi, dan kesehatan. Lantas, sejauh mana krisis membelenggu Palestina saat ini?
Pasokan energi di ujung tanduk
Dalam dekade terakhir, jalur Gaza masih terus bertahan di krisis listrik yang sangat kritis. Situasi semakin memburuk sejak April 2017 ketika perselisihan terjadi antara otoritas di Gaza dan otoritas Palestina yang berbasis di Tepi Barat.
Krisis listrik juga diikuti krisis bahan bakar. Sebab, bahan bakar digunakan untuk menyalakan sumber listrik alternatif guna memasok daya ke sejumlah fasilitas. Pada 2017, berdasarkan data Perusahan Distribusi Listrik Gaza (Gaza Electricity Distributiin Corporation/GEDCO), pasokan listrik yang dibutuhkan Jalur Gaza sebesar 460 megawatt. Sementara krisis listrik hanya menyisakan 120 megawatt atau 26,7 persen dari kebutuhan saja. Akibatnya, sejumlah sektor kesehatan harus mengurangi layanan kesehatan mereka.
Dua tahun kemudian, perubahan pun belum signifikan. Data Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB menunjukkan, rata-rata aliran listrik di Gaza hanya tersedia sekitar 11-12 jam per harinya. jumlah kebutuhan listrik masih banyak yang belum terpenuhi dibanding suplai yang diterima. Dalam data itu pula ditunjukkan, kebutuhan listrik per hari di Gaza bisa mencapai 500 megawatt, sedangkan listrik yang dapat terpenuhi hanya sekitar 200 megawatt. Keadaan itu tentu berdampak masif, terutama bagi fasilitas umum seperti rumah sakit dan sekolah.
Pada 2019, sedikitnya ada lima rumah sakit pemerintah yang terancam berhenti beroperasi. Hal itu disebabkan pasokan bahan bakar tidak lagi mencukupi untuk menyalakan aliran listrik yang mendukung aktivitas di semua rumah sakit itu.
“Situasi yang kami hadapi tidak mudah. Jika satu rumah sakit kehabisan bahan bakar, kami berusaha memindahkan para pasien ke rumah sakit lain. Ini tentu saja akan meningkatkan konsumsi bahan bakar di rumah sakit di mana para pasien itu dipindahkan,” ungkap Direktur Kerjasama Internasional Kementerian Kesehatan Palestina Ashraf bdur Rahim Abu Mhad kepada Aksi Cepat Tanggap.
Pekan terakhir Januari 2019, ACT kembali menyalurkan amanah masyarakat Indonesia. Akhir Januari lalu, 100.000 liter bantuan bahan bakar dikirimkan untuk delapan rumah sakit di Jalur Gaza.
“Tahun 2018, sebanyak 260.000 jiwa menjadi penerima manfaat bantuan bakar yang dikirimkan ACT. Pada Januari, 100.000 liter bantuan diterima lebih dari 6.000 penerima manfaat. Mereka adalah pasien-pasien di rumah sakit yang tengah mengalami kekurangan pasokan listrik,” lapor Andi Noor Faradiba dari Global Humanity Response (GHR) – ACT.
Air bersih kian sulit
Tidak ada aliran listrik juga berdampak pada kesediaan air bersih dan sanitasi. Krisis membuat efisiensi mesin pompa air dan kinerja mesin desalinasi berkurang. Otoritas Gaza juga menyampaikan, tidak tersedianya listrik juga berdampak pada mesin pengolah air limbah. PBB menyatakan, hanya 10 persen dari dua juta warga Gaza yang mempunyai akses air bersih.
Mantan Wakil Menteri Air Palestina Rebhi Al Sheikh mengatakan, air desalinasi juga cenderung tercemar kotoran manusia dan bakteri e. Coli karena hampir tidak mengandung garam. Lebih-lebih ketika disimpan di penampungan rumah selama lebih dari 10 hari. Sheikh mengatakan, tingkat pencemarannya meningkat hingga 70 persen.
“Anak saya mengalami sakit karena air. Dia menderita diare dan muntah. Seringkali saya mengatakan kalau air yang kami konsumsi tidak bersih. Namun, kami tidak memiliki pilihan lain,” ungkap Madlain Al Najjar salah satu warga Gaza kepada Public Broadcasting Servive awal Januari lalu.
Abdul Rahim Abu dari Otoritas Air Gaza mengatakan, pemerintah kota tidak lagi mampu mengolah sumber air di Gaza. “Sekitar 80 sampai 85 persen penduduk kota tidak mampu membayar tagihan air karena mayoritas hidup dalam kemiskinan. Dan pemerintah juga tidak mampu membayar bahan bakar agar pompa air tetap berjalan,” ungkap Abdul Rahim.
Sejak 2015, Aksi Cepat Tanggap (ACT) mewakili masyarakat Indonesia berikhtiar meredam krisis tersebut dengan memasok bantuan air bersih melalui program Mobile Water Tank. Berdasarkan data Global Humanity Response (GHR)–ACT tahun 2018, sebanyak 1.008.800 telah menerima manfaat program ini.
Krisis pangan
Badan Pangan Dunia menyatakan hanya 22,5 persen atau 1,3 juta orang di Palestina tidak memiliki sarana untuk membeli makanan bergizi. Di Jalur Gaza, puncaknya mencapai 39 persen. Pola makan yang kurang beraneka ragam juga menjadi masalah yang tumpang tindih.
Awal Februari lalu, Zaher Al-Banna dari selaku Kepala Dewan Orang Tua di sekolah organisasi PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan, banyak siswa di sekolah-sekolah Palestina yang melewatkan sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Hal ini dikarenakan keterbatasan finansial keluarga mereka, sebagai akibat dari blokade Israel yang berkepanjangan.
Masalah kebutuhan pangan anak-anak Palestina pun tak luput dari perhatian masyarakat Indonesia. Secara berkelanjutan, bangsa Indonesia melalui ACT menyediakan santapan penuh gizi untuk warga Palestina, baik yang berada di Gaza maupun Yerusalem.
“Setiap hari 500 porsi didistribusikan ke sekolah. Sabtu (9/2), 500 porsi makanan siap santap diantarkan ke sekolah Al-Horriya di di Kota Gaza. InsyaAllah pendistribusian panganan siap santap ini akan terus berlanjut,” ujar Faradiba.
Kelumpuhan ekonomi
Krisis kemanusiaan Palestina juga menyebabkan kelumpuhan ekonomi. Ekonomi Gaza jatuh bebas sepanjang blokade satu dekade ini. “Kombinasi perang, isolasi, dan perpecahan internal telah membuat Gaza dalam kelumpuhan ekonomi dan memperburuk tekanan kemanusiaan. Situasi yang membuat semua orang berjuang memenuhi kebutuhan hidup, kemiskinan semakin memburuk, meningkatnya pengangguran, dan memburuknya layanan publik seperti perawatan kesehatan, air, dan sanitasi. Hal ini mendesak solusi nyata dan berkelanjutan,” ujar Marina Wes, Direktur Bank Dunia untuk Tepi Barat dan Gaza.
