Oleh : Dwi Setiawan Chaniago, S.Sos., M.A
Sosiolog Universitas Mataram
Â
Bahaya Laten Kanibalisme Politik Pilkada
Pilkada merupakan salah satu tolak ukur kualitas demokrasi dalam proses regenerasi kepemimpinan. Dikatakan sebagai tolak ukur sebab menjadi ruang bagi partisipasi putra-putri terbaik untuk dipilih sebagai pemimpin, serta wujud fasilitasi negara terhadap warga masyarakat dalam memilih pemimpin terbaik. Untuk memilih pemimpin yang baik perlu iklim politik kondusif yang terbangun dalam suasana keterbukaan, kebebasan berpendapat dan pengharagaan atas pilihan politik yang berbeda. Tentu saja pilkada menjadi ajang kontestasi adu pengaruh dan simpatik pemilih, namun kedewasaan demokrasi bagi setiap masyarakat dalam menyalurkan pilihan politik mutlak diperlukan. Agar kondusifitas dapat terwujud maka tata aturan pemilukada harus diimplementasikan dengan sebaik-baiknya.
           Kondusifitas tentu menjadi kebutuhan bersama masyarakat. Kontestasi besar semacam pilkada tentu diiringi berbagai tantangan yang jika tidak diartikulasikan dengan baik rawan memunculkan disharmonisasi dan gejolak sosial. Tentu tidak ada dari kita yang berharap demikian, namun perlu kiranya kita waspada dan mawas diri. Paling tidak berkaca pada berbagai kontestasi politik di berbagai daerah yang seringkali melahirkan embrio perpecahan dan polarisasi masyarakat.
           Salah satu bahaya laten pada momen kontestasi pilkada adalah potensi munculnya kanibalisme politik. Kanibalisme politik merupakan sebuah metafor yang menggambarkan bahwa politik terkadang memiliki sisi keras dan gelap. Kanibalisme politik merupakan manifestasi dari beberapa fenomena seperti hoax, politik uang, ujaran kebencian dan eksploitasi isu suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA). Kesemua manifestasi kanibalisme politik tersebut biasanya akan dikemas dalam sebuah bungkusan berupa kampanye hitam (black campaign).
           Apakah kanibalisme politik sebuah istilah yang berlebihan? Untuk menjawabnya marilah kita pahami dengan pikiran terbuka bahwa berbagai fenomena seperti hoax, politik uang, ujaran kebencian dan eksploitasi isu SARA adalah wujud perbuatan kanibal dalam dunia politik. Dapat dibayangkan, even politik seperti pilkada yang seharusnya memfasilitasi putra-putri terbaik bangsa untuk menjadi pemimpin, namun adakalanya putra-putri terbaik gagal orbit akibat gencarnya isu hoax yang menggerogoti popularitas. Belum lagi politik uang yang tidak jarang memakan kontestan yang secara kapasitas mumpuni namun kalah akibat tidak mampu bersaing karena permainan uang. Atau eksploitasi isu SARA yang dibalut dalam kampanye hitam yang bermuatan fitnah juga berpotensi menggerogoti akseptabilitas atau keberterimaan kontestan yang mungkin secara kapabilitas mumpuni namun akan terbunuh karakternya akibat menjadi korban isu SARA.
           Gambaran tersebut tentu tidak kita harapkan mewarnai pesta politik di daerah kita. Nusa Tenggara Barat yang identik dengan struktur politik yang berbudaya dan agamis diharapkan mampu menelurkan calon pemimpin yang mencerdaskan pemilihnya melalui kampanye politik yang sehat jauh dari penyakit demokrasi semisal politik uang, hoax, dan eksploitasi isu SARA. Selain itu kapasitas institusional pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, Kepolisian dan stakeholder dapat menjadi operator penyelenggara pemilu yang profesional. Gerak langkah para pihak untuk mengawal pemilu tentu telah dapat rasakan gaungnya, di Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat misalnya. Berbagai satuan tugas telah dioperasionalkan seperti satgas anti-politik uang, satgas anti hate speech, serta cyber troops dalam meminimalisir ruang gerak kampanye hitam (black campaign).
Baca Juga:
- Konsensus Politik Pilkada Damai
- Satgas Anti Hate Speech Rangkul Opinion Maker
- Satgas Anti-Politik Uang Polda NTB
Â
Upaya Kepolisian Mencegah Kanibalisme Politik
           Kanibalisme politik tumbuh dan berkembang dalam iklim politik yang tidak kondusif. Iklim politik yang tidak kondusif muncul secara akumulatif dari lemahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya partisipasi politik konvensional yang beretika. Dalam konteks pemilukada dewasa ini, potensi partisipasi inkonvensional digerakkan segelintir oknum melalui penyebaran kampanye hitam di sosial media. Kita tidak boleh menutup mata, bahwa masih ada oknum yang berusaha mengkomodifikasi kebencian untuk memperoleh keuntungan termasuk dalam momen kontestasi pilkada saat ini.
           Upaya Kepolisian dalam menggerakkan sumberdaya terbaik dalam meminimalisir kanibalisme politik yang muncul dari fenomena politik uang, hoax, dan eksploitasi SARA perlu diapresiasi. Sebab kita tentu tidak mengharapkan bahwa putra-putri terbaik yang berlaga dalam kontestasi politik menjadi korban kanibalisme politik. Sebab kontestasi pilkada bukan bertujuan mencari pihak yang menang dan kalah. Lebih penting dari pada itu, arena pilkada diharapkan menjadi arena melahirkan pemimpin yang paling diterima oleh masyarakat. sebab keberterimaan pemimpin oleh masyarakat adalah sumber legitimasi utama.
           Operasionalisasi satgas anti-politik uang dan satgas anti hate speech Polda NTB merupakan jawaban bagi upaya mengeleminir potensi kanibalisme politik. Hanya saja tim satgas dalam menjalankan tugasnya diharapkan dapat menggunakan pendekatan holistik. Paling tidak upaya-upaya pre-emtif dan preventif perlu digalakkan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat untuk dapat membentengi diri dari bahaya laten kanibalisme politik dengan tidak terprovokasi permainan politik uang, hoax dan ujaran kebencian. Masyarakat perlu diajarkan untuk bersikap kritis dalam menyikapi berbagai kampanye yang bersinggungan dengan isu politik uang, hoax dan ujaran kebencian.
           Dari sisi upaya kuratif, Kepolisian perlu untuk mampu membangun netralitas dalam menangani isu-isu sensitif yang syarat akan konflik kepentingan kontestan. Hal ini tentu hanya bisa terwujud dengan profesionalitas, integritas dan mengedepankan mitra dialogis untuk menunjang keterbukaan. Kepolisian penting kiranya meningkatkan sinergi dengan para-pihak termasuk melibatkan peran serta tokoh kunci (key persons) seperti tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Terakhir kita perlu merefleksikan ulang tentang hakekat pilkada bahwa kita ingin proses dan hasil pilkada membawa kita pada kehidupan sosial yang lebih baik dan bermartabat.