HarianNusa, Kabupaten Dompu – Angka perkawinan anak dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 2019 kasusnya mencapai 200 kasus, kemudian meningkat hingga 800 kasus di tahun 2020. Hal ini menjadi perhatian anggota Komisi V DPRD NTB, Akhdiansyah untuk lebih masif mensosialisasikan Peraturan Daerah (Perda) Inisiatif DPRD NTB yang ditetapkan pada masa sidang tahun 2021. Yakni, Perda Nomor 5 tahun 2021 Tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
“Perkawinan anak berdampak pada kesehatan reproduksi,” ucap Anggota Komisi V DPRD NTB Dapil VI Kabupaten Dompu, Kota Bima dan Kabupaten Bima Akhdiansyah usai mensosialisasikan Peraturan Daerah (Perda) Inisiatif DPRD NTB masa sidang tahun 2021 di Kabupaten Dompu, (23/11) kemarin.
Akhdiansyah mengatakan, dari hasil riset secara ilmiah serta berdasarkan peraturan Undang-Undang nomor 174 menyebutkan usia perkawinan adalah umur 18 tahun. Secara medis, pada umur ini kesehatan reproduksi sudah matang untuk menikah. Termasuk kesehatan anak yang akan dilahirkan dan ibu dianggap sudah matang atau siap.
Dampak lain yang ditimbulkan dari perkawinan anak, lanjutnya, dapat menimbulkan pengangguran baru. Mengapa? Karena biasanya mereka yang menikah di bawah umur sangat rawan akan kondisi perekonomiannya. Selain itu, usia 18 tahun ke bawah adalah usia anak untuk bersekolah. Dengan perkawinan anak tentu berpotensi besar terhadap angka putus sekolah.
“Jangan sampai akibat ini (perkawinan anak, Red) menimbulkan masalah-masalah baru berdampak pada ekonomi mereka,” ucap guru To’i sapaan akrabnya.
Berangkat dari persoalan ini, membuat anggota dewan di Udayana perlu lebih masif mensosialisasikan perda pencegahan perkawinan anak. Guna menjaga kesinambungan generasi bangsa di masyarakat. Bahwa putera puteri NTB harus sehat, siap secara kualitas dari sejak dilahirkan.
“Maka perkawinan anak di bawah umur ini harus kita hindari,” jelas politisi PKB ini.
Sosialisasi yang dilakukan pada lima titik sejak tanggal 19 hingga 24 November itu, diharapkan kepada masyarakat untuk mengetahui dan memahami dengan baik tentang Perda Pencegahan Perkawinan Anak ini, sehingga perda bisa efektif berlaku di tengah masyarakat dan dijadikan pedoman untuk dilaksanakan bersama.
Lantas adakah sanksi yang diberikan bila masyarakat melanggar perda tersebut? Guru To’i mengatakan, awal penyusunan perda telah mencantumkan sanksi-sanksi. Namun, dari hasil konsultasi bersama Kemendagri akan berbenturan pada nama perda itu sendiri. Perda ini lebih mendekatkan pada kedekatan persuasif yang diatur berdasarkan kolaborasi dari empat dinas teknis.
“Menurut mereka, perda pencegahan tidak perlu ada sanksi,” ucap anggota Komisi V DPRD NTB ini.
Meski demikian, Akhdiansyah mengatakan, dalam perda tetap mengatur pemberian penghargaan bagi siapa saja yang bisa menjalankan perda atau mencegah perkawinan anak usia dini. Termasuk keterlibatan satuan petugas (satgas) hingga tingkat bawah level desa, dengan mengajak semua komponen masyarakat.
“Satgas ini akan meneruskan perda, mereka dibentuk melalui peraturan gubernur untuk diinisiasi pada pemerintah daerah di level masing-masing,” kata Guru To’i.
Sosialisasi Perda Pencegahan perkawinan anak terebut diikuti oleh masyarakat baik dewasa maupun usia sekolah setempat. (f3)
Ket. Foto:
Anggota Komisi V DPRD NTB Dapil VI Kabupaten Dompu, Kota Bima dan Kabupaten Bima Akhdiansyah, saat melakukan sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) Inisiatif DPRD NTB masa sidang tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten Dompu. (Istimewa)
.