
HarianNusa.com, Mataram – Sejumlah warga meminta bupati membebaskan tanah pecatu di Desa Bilebante Kecamatan Bilebante Kabupaten Lombok Tengah. Pasalnya tanah tersebut diklaimnya sebagai milik sah mereka.
Mereka (ahli waris, red) mengaku tanah pecatu yang terdapat di beberapa titik yang luas keseluruhannya hampir 6 hektar tersebut adalah tanah dari ninik (Kakek, red) mereka yang dulu menjabat sebagai kepala desa.
“Tanah tersebut milik ahli waris . Dulu sejak zaman ninik (kakek,red) kami menjadi kepala desa tahun 1951 tanah tersebut dipinjam pakekan,” tutur Baiq Supaili di Mataram, Kamis, ( 23/8).
Sebagai dasar hak kepemilikan, ia mengakui menyimpan Surat
Persumpahan antara beberapa kepala desa di distrik Mantang waktu itu (1951). Dimana isi Surat Persumpahan tersebut menyebutkan apabila selesai masa jabatan kepala desa yaitu H.Lalu Putra Anom yang merupakan kakek mereka (ahli waris, red) maka tanah pecatu tersebut harus dikembalikan ke pihak ahli waris. Selain itu ia juga mengaku menyimpan Pipil Garuda tahun 1957.
“Sudah beberapakali kami duduk bersama dengan pemerintah desa namun tidak mendapatkan kesepakatan dan pihak kabupaten meminta kami untuk melanjutkan apa yang kita harapkan itu ke PTUN,” ujar L.Ruslan menguatkan, yang juga merupakan salaha seorang ahli waris sambil mengatakan
bahwa di tahun 2015 sebagian fisik dari sejumlah luas tanah pecatu tersebut sudah dikuasai oleh ahli waris.
Sementara Kuasa Hukum ahli waris, Ya’kub, SH mengatakan gugatan pembebasan tanah pecatu ini berangkat dari pengajuan permohononan pembatalan untuk diterbitkan SK pelepasan tanah pecatu yang tidak tercatat di Loteng.
Dikatakan Yakub, pada tanggal 3 Maret dirinya mengajukan surat permohonan supaya diterbitkan SK pelepasan tanah pecatu yang tidak tercatat di aset Lombok Tengah.
“Nah kebetulan di wilayah Bilebante itu ada 6 pipil tidak tercatat yang dikuasai oleh kepala desa,kadus-kadus, dan penghulu beserta pekasih. Luasnya lebih kurang seluruhnya 6 hektar,” terangnya.
Khusus tanah pecatu kepala desa,lanjutnya, ia beserta masyarakat telah menarik yang luasnya sekita 2 hektar. Dan yang belum ditarik luasnya lebih kurang sekitar 4 hektar.
Ia memaparkan Berdasarkan surat yang diajukan itu, karena bupati tidak menjawab permohonannya atau diam diri maka ia menganggap bupati telah menerbitkan keputusan mengabulkan permohonan tersebut.
“Nah untuk menetapkan keputusan permohonan saya tersebut, saya mengambil sikap mengajukan permononan kepada PTUN Mataram yang memiliki kewenangan mengadili, memeriksa dan memutuskan permohonan tersebut bahwa sudah diterima bupati,” terangnya.
Karena bupati tidak menerima itu, berdasarkan Undang-Undang nomot 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan. Dimana disebutkan ada aturan yang mengatur untuk bisa digugat apabila tenggang 10 hari sejak diserahkan surat tersebut.
“Karena tidak dijawab jadi kami bisa menggugat selama 90 hari. Nah dengan ada tenggang waktu 90 hari belum habis kami mengajukan gugatan karena kami merasa bahwa obyek dari permohonon kami (surat permohonan) tidak diterbitkan kami menganggap bupati telah melanggar tentang administrasi pemerintahan yang baik dan kedua melanggar hak asasi manusia. Oleh karena itu kami telah mengajukan kepada PTUN Mataram untuk menerbitkan SK yang dimohonkan isinya surat keputusan pelepasan tanah pecatu yang khususnya ada di wilayah Bilebante,” paparnya.
“Nah adapun dasarnya kami untuk memohon itu pertama bupati tidak menjawab,kedua bupati tidak menanggapi , ketiga ada alat-alat bukti kepemilikan yang dimiliki oleh para pihak yang berkepentingan terhadap obyek yang dimohonkan itu yg terdiri diri 5 orang, diantaranya L.ruslan, yang merupakan ahliwaris daripada nama yang ada di pipil tersebut,” tambahnya. (f3)